Tragedi Tahunan di Pulau Sabuntan: Tiga Kampung Tenggelam Didera Air Pasang, Pemerintah Kabupaten Sumenep Bungkam?

Akses jalan utama di Pulau Sabuntan

Suaranusantara.online

SUMENEP – Bencana air pasang kembali menerjang Pulau Sabuntan, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur menenggelamkan akses jalan utama dan merendam tiga kampung sekaligus: Tabarat, Toroh, dan Tengah, Rabu (28/5/2025).

Pemandangan memilukan ini bukan lagi kejadian sporadis, melainkan siklus tahunan yang telah berlangsung lama tanpa adanya respons signifikan dari Pemerintah Kabupaten Sumenep.

Ironisnya, Yayasan Pondok Pesantren Rahmatul Ulum yang berlokasi di tepi pantai pun tak luput dari terjangan air.

Kondisi ini bukan sekadar musibah alam, namun lebih jauh mencerminkan dugaan kuat adanya kelalaian sistematis dari pemerintah daerah dalam menangani penderitaan berkepanjangan yang dialami warga Pulau Sabuntan.

Menurut laporan warga setempat, ketinggian air saat ini belum mencapai titik maksimal, mengindikasikan potensi banjir yang lebih parah saat puncak pasang tiba.

“Kalau sudah puncak air laut pasang, air bisa masuk ke dalam rumah. Ini terjadi selama tiga bulan penuh, dan masyarakat hidup dalam penderitaan tanpa solusi konkret dari pemerintah,” ungkap seorang tokoh masyarakat dengan nada frustrasi.

“Bencana berulang ini adalah teriakan putus asa masyarakat yang merasa diabaikan,” imbuhnya, mencerminkan kekecewaan mendalam warga terhadap sikap pasif pemerintah.

Salah seorang warga lainnya dengan nada getir menuturkan, “Ini bukan hal baru di Pulau Sabuntan.
Sayangnya, tidak ada perhatian sama sekali. Apakah pemerintah menunggu adanya korban jiwa baru bertindak?”

Pernyataan ini secara implisit menyoroti ketidakmampuan dan ketidakpedulian Pemerintah Kabupaten Sumenep dalam mengatasi persoalan bencana yang berulang ini.

Pulau Sabuntan, yang secara geografis terisolasi di tengah laut, seolah menjadi korban kebijakan yang setengah hati.

Bukti nyata terlihat dari infrastruktur yang minim dan tidak mampu melindungi masyarakat dari ancaman air pasang yang rutin terjadi.

“Kami seperti dibiarkan tenggelam perlahan-lahan,” keluh seorang warga, menggambarkan betapa rentannya kehidupan mereka, terutama bagi anak-anak sekolah yang aktivitas pendidikannya terganggu akibat banjir.

Akses menuju sekolah terputus, mengancam keselamatan dan masa depan generasi penerus pulau ini.

Lebih lanjut, warga terpaksa bergelut dengan genangan air kotor yang berpotensi menimbulkan wabah penyakit, menambah penderitaan fisik di tengah ketidakpastian.

Trauma psikologis pun menghantui, terutama anak-anak yang setiap tahun harus menghadapi ancaman serupa.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons resmi maupun kunjungan langsung dari satu pun pejabat Pemerintah Kabupaten Sumenep ke lokasi bencana.

Keheningan ini semakin memperkuat kesan pengabaian dan kurangnya empati terhadap kesulitan yang dialami masyarakat Pulau Sabuntan.

Pertanyaan mendasar pun muncul: Sampai kapan warga Pulau Sabuntan harus terus hidup dalam ketakutan dan penderitaan tanpa adanya perhatian dan solusi nyata dari pihak yang berwenang?

Masyarakat menanti tindakan konkret, bukan sekadar janji atau pembiaran yang berlarut-larut.

Tragedi tahunan ini menjadi ujian nyata bagi komitmen Pemerintah Kabupaten Sumenep dalam melindungi dan mensejahterakan seluruh warganya, termasuk mereka yang tinggal di pulau-pulau terpencil.

(GUSNO)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *