Sidang Asusila Bripka Sodikin: Transparan atau Sekadar Klaim Formal?

[OPINI | INVESTIGASI]

Oleh: Jurnalis Babel Bergerak (Jobber)

 

KOBA – Klaim transparansi yang disampaikan oleh Humas Pengadilan Negeri Koba dalam perkara dugaan tindak pidana asusila dengan terdakwa Bripka Sodikin, patut dikritisi. Pasalnya, sidang pada Kamis, 17 April 2025 lalu tetap membacakan keterangan saksi ahli, meski ahli yang bersangkutan tidak hadir di ruang sidang.

Ketidakhadiran ahli dijelaskan karena sedang dalam kondisi sakit dan akan menjalani operasi. Akan tetapi, pertanyaannya: apakah alasan itu cukup kuat untuk melewati hak terdakwa guna menguji langsung keterangan yang dianggap sebagai alat bukti penting?

Pasal 162 KUHAP memang membuka ruang untuk pembacaan keterangan jika saksi tidak dapat dihadirkan. Namun dalam perkara yang sensitif dan menyangkut nama institusi besar seperti kepolisian, pembacaan tanpa kehadiran langsung membuka ruang tafsir publik: apakah ini murni demi asas efisiensi, atau ada rekayasa yang diselubungkan di balik prosedur hukum?

Masyarakat Bertanya: Siapa yang Kontrol?

Pengadilan Negeri Koba menyebut bahwa terdakwa setuju atas pembacaan itu. Tapi dalam konteks perkara asusila, di mana terdakwa adalah anggota kepolisian aktif, pertanyaan publik justru mengarah ke kemungkinan adanya tekanan terselubung.

“Kalau betul tidak ada intervensi, mengapa ahli tidak diganti atau dimintakan waktu ulang? Ini sidang pidana, bukan sekadar formalitas,” ujar seorang pemantau peradilan yang ikut menyaksikan jalannya sidang.

Tidak hanya itu, masyarakat juga mempertanyakan mengapa proses pembacaan dilakukan begitu cepat, tanpa memastikan bahwa semua pihak dalam kondisi siap untuk sidang terbuka dan menyeluruh.

Kritik Terhadap Pengadilan: Normatif Bukan Solusi

Humas PN Koba menyatakan bahwa sidang berjalan transparan dan tanpa intervensi. Namun sejumlah pegiat hukum menilai bahwa pernyataan itu terlalu normatif dan tidak menjawab substansi keraguan masyarakat.

“Yang dibutuhkan sekarang bukan jaminan kata-kata, tetapi jaminan prosedur yang bisa diaudit dan diuji ulang. Kalau memang tidak ada intervensi, buka semua notulensi sidang ke publik,” tegas seorang akademisi hukum dari Pangkalpinang.

Di sisi lain, ketiadaan klarifikasi dari pihak jaksa penuntut umum (JPU) soal upaya maksimal pemanggilan ahli juga menambah tanda tanya.

Meminta Evaluasi dan Pengawasan Eksternal

Melihat sensitivitas perkara, lembaga seperti Komisi Yudisial, Komnas Perempuan, dan bahkan Ombudsman RI sudah sepatutnya turun tangan memantau jalannya perkara. Sebab ketika keadilan diproses dalam ruang tertutup dan serba terburu-buru, maka potensi penyalahgunaan kewenangan bisa terjadi.

“Kami mendesak agar Komisi Yudisial ikut meninjau dokumen dan prosedur sidang ini. Jika perlu, kirimkan pemantau khusus untuk sidang berikutnya,” ujar pegiat dari Jurnalis Babel Bergerak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *