Pelayanan Pemerintah Desa Guwa-Guwa Sumenep Dikeluhkan Warga, Diduga ada Praktik Pungli

Suaranusantara.online

SUMENEP, MADURA – Pelayanan pemerintah desa (Pemdes) Guwa-Guwa, Kecamatan Ra’as, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur menuai sorotan tajam dari warganya.

Buruknya kinerja pelayanan di bawah kepemimpinan Kepala Desa (Kades) Sakrani dikeluhkan, terutama terkait pengurusan dokumen kependudukan.

Ainur Rasit, seorang warga Dusun Pulau Komirean yang baru kembali ke kampung halamannya pada tahun 2024 setelah lama bekerja di Malaysia, menjadi salah satu korban buruknya pelayanan tersebut.

Kepulangannya dalam kondisi kesehatan yang kurang baik akibat gejala stroke, mengharuskannya segera mengurus Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk mengakses layanan kesehatan melalui program Universal Health Coverage (UHC).

Menyadari jarak tempuh yang cukup jauh dari Pulau Komirean ke kantor Desa Guwa-Guwa, Ainur berinisiatif menghubungi Kepala Dusun (Kadus) Pulau Komirean, Yassir Maulana, untuk meminta surat pengantar domisili.

Namun, alih-alih mendapatkan bantuan, Ainur justru disarankan untuk langsung berangkat ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Sumenep karena pembuatan KK dan KTP disebut tidak memerlukan surat pengantar dari desa.

Paman Ainur, Jaini, yang mendampingi keponakannya ke Sumenep, mencoba mengkonfirmasi informasi tersebut kepada Sekretaris Desa (Sekdes) Guwa-Guwa, Mas’aby, melalui sambungan telepon.
Jawaban yang diterima pun serupa,

“Kalau mau ke Kantor Dukcapil sekarang tidak ada pengantar dari desa karena ini pasti terdata kalau masyarakat desa Guwa-guwa paling tidak ada KK-nya yang lama, jadi seperti itu, Kantor Dukcapil sekarang tidak perlu melampirkan surat keterangan seperti yang dulu,” ujar Sekdes Mas’aby melalui pesan suara bahasa madura yang diterima pada Senin (28/04/2025).

Namun, kenyataan pahit justru menanti Ainur dan keluarganya di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Gedung Mall Pelayanan Publik (MPP) Kabupaten Sumenep.

Pengajuan pembuatan KK dan KTP Ainur ditolak dengan alasan wajib melampirkan surat pengantar domisili dari desa.

Jaini kembali berusaha menghubungi Kadus Pulau Komirean dan Sekdes Guwa-Guwa, namun terkendala jaringan.

Upaya menghubungi Kades Sakrani pun dilakukan, yang saat dihubungi mengaku sedang dalam perjalanan dan mengarahkan untuk menghubungi sekdes.

Dalam percakapan telepon dengan Kades Sakrani, Jaini memohon agar keponakannya bisa mendapatkan surat domisili.

Mengejutkannya, Kades Sakrani justru memberikan solusi yang tidak lazim. Ia menyarankan Jaini untuk memberikan uang sebesar Rp 100 ribu kepada petugas Disdukcapil berinisial E yang akan ditemuinya.

“Kancana ngkok esoroa jedia, la berri’i saratos ebu deggian, bisa, ya dina ngkok nelpona gellu kakancana ngkok jerea,” ujar Kades Sahrani dalam bahasa Madura, yang berarti “Teman saya tak perintah di sini, kasih saja seratus ribu, bisa, ya biar saya telepon dulu teman saya itu,”.

Mengikuti arahan Kades, Ainur dan Jaini kembali mendatangi pelayanan Disdukcapil dan menemui petugas berinisial E yang sebelumnya telah dihubungi oleh Kades.

Namun, upaya tersebut kembali gagal karena Jaini belum menyerahkan uang yang diminta.

Jaini kembali menghubungi Kades, namun nomornya sudah tidak aktif.

Beberapa jam kemudian, Jaini dihubungi oleh perangkat desa Guwa-Guwa yang meminta data lengkap Ainur Rasit.

Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar terkait profesionalisme dan integritas pelayanan Pemdes Guwa-Guwa.

Sebagai pelayan masyarakat, seharusnya Kades Sakrani memberikan kemudahan dan pelayanan yang optimal kepada warganya, bukan justru mengarahkan pada praktik yang mengarah pada pungutan liar (pungli).

Kejadian ini menjadi tamparan keras bagi Pemerintah Kabupaten Sumenep, khususnya dengan tagline “Bismillah Melayani” yang digaungkan oleh Bupati Ach. Fauzi Wongsojudo.

Diduga kuat, Pemdes Guwa-Guwa telah abai dalam tugas dan tanggung jawabnya memberikan pelayanan yang seharusnya kepada masyarakat.

Padahal, prosedur pembuatan e-KTP dan KK secara umum mewajibkan adanya surat keterangan domisili dari desa sebagai salah satu persyaratan.

Ainur Rasit bahkan telah berupaya meminta surat tersebut kepada perangkat desa hingga kepala desa sebelum berangkat ke Sumenep.

Namun, respons yang diterimanya justru membingungkan dan berujung pada dugaan praktik transaksional.

Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi kepada Kades Guwa-Guwa, Sakrani, melalui pesan WhatsApp belum mendapatkan respons maupun tanggapan.

Kasus ini diharapkan menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Kabupaten Sumenep untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik di seluruh wilayahnya, serta menindak tegas oknum yang terbukti melakukan praktik yang merugikan masyarakat.

(GUSNO)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *