PANGKALPINANG — Ketegangan politik dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Provinsi Bangka Belitung (Babel) kian jadi sorotan, terlebih situasi ini mencuat menjelang pelaksanaan Pemilu Ulang Wali Kota Pangkalpinang dan Pemilihan Bupati Bangka. Di saat publik berharap partai tampil solid dan menjadi penopang stabilitas demokrasi, justru yang mengemuka adalah konflik internal yang belum menunjukkan penyelesaian.
Bagi pengamat politik, kisruh ini tidak sekadar masalah rumah tangga partai. Lebih jauh, ini menunjukkan lemahnya konsolidasi dan pendidikan politik di internal partai yang seharusnya menjadi garda depan dalam mencetak kader pemimpin daerah.
“Bayangkan, menjelang pemilu ulang yang menuntut kerja kolektif dan kedewasaan partai, justru yang diperlihatkan adalah perebutan pengaruh. Ini menjadi pelajaran buruk bagi masyarakat dan pemilih,” kata Jaka seorang aktivis.
Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari tantangan demokrasi elektoral di daerah. Ketika partai gagal menjadi ruang pendidikan politik, maka konsekuensinya adalah apatisme publik dan rendahnya partisipasi pemilih.
Sebagai partai yang mengusung nilai keislaman dan kebangsaan, PKB dinilai seharusnya mampu memberi contoh bagaimana konflik diselesaikan secara arif. Sayangnya, drama yang berlangsung justru memberi kesan bahwa jabatan lebih penting dari nilai.
Dengan Pemilu Ulang yang sudah di depan mata, publik berharap semua partai—terutama yang terlibat langsung dalam kontestasi—dapat menunjukkan wajah demokrasi yang sehat, bukan justru memperkeruh ruang publik dengan intrik internal.