Kerusakan Ekosistem Sungai Jering, Tradisi Tuguk di Ujung Kepunahan

Pangkal Beras, Bangka Barat – Suatu pagi yang muram menyelimuti kawasan Sungai Jering dan Sungai Beras, tempat di mana kehidupan para nelayan dulunya bergantung pada satu alat tradisional yang sarat makna: tuguk. Kini, alat penangkap ikan yang menjadi simbol kearifan lokal itu tengah menghadapi ujian berat akibat rusaknya ekosistem sungai.

“Tuguk ini bukan sekadar alat, ini warisan. Setiap kali memasangnya, kami selalu gelar selamatan, sebagai bentuk syukur dan harapan,” ujar Marguna, nelayan yang telah puluhan tahun menggantungkan hidup dari hasil sungai, Kamis (24/04/2025). “Tapi sekarang, harapan itu tinggal sisa-sisa.”

Dulunya, tuguk-tuguk itu berdiri kokoh di aliran sungai, memanen udang, teri, dan ikan segar yang melimpah. Tapi kini, hasil tangkapan kian menyusut. Marguna dan nelayan lainnya mengaku hanya bisa berharap pada keberuntungan semata. Bukan tanpa sebab. Hutan bakau yang menjadi rumah alami ikan dan udang telah banyak rusak oleh aktivitas tambang timah apung yang menjalar hingga ke hulu Sungai Beras dan Sungai Jering.

“Kami menangis dalam hati melihat perubahan ini. Bakau dirusak, air jadi keruh. Rumah bagi ikan sudah tak layak. Kami hanya bisa bertanya: bagaimana bisa kami bertahan?” keluh Marguna.

Tradisi tuguk yang diwariskan secara turun-temurun kini dihadapkan pada ancaman kepunahan. Bukan karena generasi muda enggan meneruskan, tetapi karena lingkungannya tak lagi mendukung. Kayu nibung yang biasa digunakan untuk membuat tuguk pun semakin sulit didapat.

Para nelayan, dengan suara yang mulai serak oleh letih dan kecewa, menyerukan agar aktivitas tambang lebih memperhatikan kelestarian lingkungan. Mereka tidak menolak pertambangan, tetapi berharap ada kesadaran untuk menjaga keseimbangan alam.

“Kami paham soal kemajuan, tapi jangan sampai kemajuan itu menenggelamkan kami. Sungai ini bukan sekadar air, dia ibu kami,” kata Marguna sambil menatap arus sungai yang mulai kehilangan denyutnya.

Jika kerusakan ini dibiarkan terus terjadi, para nelayan khawatir bukan hanya kehilangan mata pencaharian, tetapi juga identitas budaya mereka yang selama ini melekat erat dengan tuguk dan kehidupan sungai. Bagi mereka, kehilangan tuguk berarti kehilangan jati diri dan hubungan spiritual dengan alam.

Sungai Jering kini bukan hanya medan perjuangan hidup, tapi juga garis perlawanan sunyi terhadap kepunahan budaya yang diam-diam terjadi di tengah gemuruh tambang dan derap zaman.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *