Ilustrasi ((Ist)
Suaranusantara.online
SUMENEP, JAWA TIMUR – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) tahun 2024 di Kabupaten Sumenep semakin menguat.
Sorotan tajam kini tertuju pada Desa Gunung Kembar, Kecamatan Manding, di mana kepala desa setempat mengaku dimintai sejumlah uang oleh Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) BSPS.
Menurut pengakuan Kepala Desa Gunung Kembar saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon pada Senin (05/05/2025), pihaknya harus mengeluarkan modal awalnya sebesar Rp 3.000.000 per unit rumah untuk pembelian material bangunan.
“Saya talangi dulu tiga juta per unit untuk pembelian bahan, karena uangnya masih belum cair,”
ungkapnya dengan nada keluh kesah.
Tak hanya itu, Kades Gunung Kembar juga mengungkapkan adanya permintaan biaya pendampingan dari TFL BSPS Kecamatan Manding sebesar Rp 1.000.000 per unit, ditambah dengan biaya materai sebanyak 7 lembar per rumah.
“Biaya pendampingan tenaga68 fasilitator lapangan 1 juta per unit, ditambah materai 7 lembar persatu rumah,” jelasnya dengan nada kecewa.
Upaya konfirmasi kepada pihak TFL BSPS Kecamatan Manding melalui pesan dan panggilan WhatsApp tidak mendapatkan respons.
Namun, informasi yang dihimpun dari media lain menyebutkan bahwa menurut TFL, tugas mereka sebatas mengontrol dan mengatasi permasalahan di lapangan.
Temuan ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik korupsi yang menggerogoti hak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) penerima bantuan BSPS di Sumenep.
Program yang seharusnya menjadi angin segar untuk memiliki hunian layak, kini justru diwarnai dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
Kepala desa pun tampak menjadi pihak yang dirugikan dalam pusaran dugaan praktik busuk ini.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, belum ada tindakan konkret dari pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum terkait dugaan pungli ini.
Kondisi ini tentu menimbulkan kekecewaan mendalam bagi para penerima bantuan yang seharusnya mendapatkan rumah layak huni secara utuh.
Sikap tertutup dari pihak TFL yang enggan memberikan klarifikasi semakin memperkuat kecurigaan adanya praktik yang disembunyikan.
Dugaan korupsi ini bukan hanya soal hilangnya potensi bantuan miliaran rupiah, tetapi juga merampas harapan ribuan keluarga di Sumenep untuk memiliki tempat tinggal yang layak.
Kini, harapan besar bertumpu pada pemerintah pusat untuk segera turun tangan dan melakukan audit menyeluruh terhadap penyaluran dana BSPS di Kabupaten Sumenep.
Masyarakat menanti keadilan dan tindakan tegas dari pihak berwenang agar program yang mulia ini tidak lagi ternoda oleh praktik-praktik kotor yang merugikan rakyat kecil.
Akankah dugaan korupsi ini terungkap tuntas, atau justru tenggelam dalam labirin birokrasi? Waktu dan tindakan nyata dari para pemangku kebijakan akan menjadi jawabannya.
(GUSNO)