SKANDAL APBD SUMENEP: Bantuan Keuangan Khusus Rp 100 Juta Desa Bicabbi, Fiktif

Kepala Desa Bicabbi Kecamatan Dungkek (Foto: Dok)

Suaranusantara.online

Bacaan Lainnya

SUMENEP,JAWA TIMUR – Skandal pengelolaan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) APBD Kabupaten Sumenep Tahun Anggaran 2024 mencuat ke permukaan setelah Kepala Desa Bicabbi, Kecamatan Dungkek, secara tegas membantah tidak pernah mengajukan program BKK pembangunan jalan aspal senilai Rp 100 juta yang tercatat atas nama desanya.

Kasus ini kian menguatkan dugaan terjadinya pencatutan nama desa, manipulasi administratif, hingga potensi program fiktif yang melibatkan oknum di tingkat kabupaten.

Berdasarkan penelusuran dokumen APBD 2024, Desa Bicabbi tercatat menerima dua program bantuan pembangunan jalan aspal dengan nilai identik masing-masing Rp 100 juta:

  • Bantuan Keuangan Desa (BKD)
  • Pembangunan Jalan Aspal Rp 100 juta
    Bantuan Keuangan Khusus (BKK)
  • Pembangunan Jalan Aspal Rp 100 juta
    Total anggaran: Rp 200 juta.

Namun realitas di lapangan justru mengejutkan. Kepala Desa Bicabbi, didampingi perangkat desa, saat dikonfirmasi di kediamannya, Senin, 15 Desember 2025 dengan tegas menyatakan:

“Yang kami ajukan hanya BK Desa untuk pembangunan jalan aspal. Tapi untuk Bantuan Keuangan Khusus, saya tidak pernah dapat.”

Pernyataan ini diperkuat oleh bukti, bahwa pekerjaan pembangunan jalan dari BKD memang telah dilaksanakan pada 2024. Namun, BKK senilai Rp 100 juta sama sekali tidak pernah diketahui, tidak pernah diajukan dalam musyawarah desa, dan tidak pernah masuk ke kas desa.

Pertanyaan krusial: Atas dasar apa dan melalui mekanisme apa BKK tersebut bisa muncul dan tercatat resmi dalam dokumen APBD Kabupaten Sumenep?

Munculnya program tanpa sepengetahuan pemerintah desa bukan sekadar kelalaian administratif. Ini merupakan indikasi kuat adanya pencatutan nama desa untuk kepentingan tertentu.

Analisis tim media menunjukkan kemungkinan dinas teknis terkait sengaja tidak melibatkan pemerintah desa dalam proses pencairan BKK, sehingga membuka celah terjadinya program fiktif atau pengalihan anggaran.

Jika pola ini dibiarkan, desa hanya dijadikan “stempel administratif” tanpa pernah menerima manfaat nyata.

Praktik semacam ini mencederai prinsip:

  • Transparansi pengelolaan keuangan daerah
  • Partisipasi aktif pemerintah dan masyarakat desa
  • Akuntabilitas penggunaan APBD.

Tidak mungkin sebuah program BKK muncul dari ruang hampa, tanpa pengajuan, tanpa musyawarah, tanpa tanda tangan kepala desa, kecuali memang ada permainan sistematis di level atas.

Dalam konteks ini, dalih “kesalahan input” atau “kelalaian administrasi” tidak lagi dapat diterima. Justru hal itu berpotensi menjadi tameng klasik untuk menutupi modus operandi yang lebih besar.

Berdasarkan regulasi yang berlaku, pengelolaan Bantuan Keuangan Desa dan Bantuan Keuangan Khusus harus mengikuti prinsip partisipatif dan akuntabel:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 72 ayat (2) mengatur bahwa sumber pendapatan desa meliputi Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, yang harus dikelola secara transparan dan akuntabel.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa (sebagaimana telah diubah dengan PP 11/2019). Pasal 19 menegaskan bahwa bantuan keuangan kepada desa harus didasarkan pada usulan desa melalui mekanisme musyawarah desa.

3. Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Pasal 6 ayat (1) huruf d mengatur bahwa Bantuan Keuangan merupakan pendapatan desa yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota, dan harus dicatatkan dalam APBDes. Pasal 11 menyatakan bahwa pemerintah desa wajib terlibat dalam perencanaan, penganggaran, hingga pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan.

4. Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 152 ayat (2) mengatur bahwa Bantuan Keuangan Khusus (BKK) harus memenuhi persyaratan administratif termasuk proposal kegiatan dari desa dan harus dilaksanakan sesuai mekanisme APBDes.

Kesimpulan hukum: Tidak ada celah legal bagi munculnya BKK tanpa pengajuan dan persetujuan pemerintah desa. Jika hal ini terjadi, maka indikasi penyimpangan administratif dan pidana sangat kuat.

Ketika dikonfirmasi, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Sumenep, Anwar Syahroni Yusuf, justru melempar tanggung jawab ke instansi lain.

“Akan segera koordinasi dengan Dinas PUTR,” ujarnya singkat.

Sikap menghindar ini menimbulkan tanda tanya besar. Padahal, Dinas PMD adalah garda terdepan dalam pengelolaan bantuan keuangan desa dan seharusnya memiliki data lengkap dan akurat terkait pengajuan, verifikasi, hingga pencairan BKK.

Yang lebih mengkhawatirkan, Plt. Camat Dungkek, Dadang Dedy Iskandar, sebagai pejabat kunci di tingkat kecamatan yang seharusnya menjadi jembatan antara desa dan kabupaten, justru memilih bungkam dan tidak memberikan klarifikasi apapun.

Keheningan pejabat strategis ini semakin memperkuat dugaan adanya upaya penutupan kasus atau setidaknya menunjukkan ketidakberdayaan sistem pengawasan di tingkat kecamatan.

Masyarakat Desa Bicabbi dan publik Sumenep menuntut transparansi penuh dari Pemerintah Kabupaten Sumenep. Beberapa pertanyaan krusial yang harus dijawab:

Siapa yang menandatangani dokumen proposal BKK atas nama Desa Bicabbi?

Ke mana aliran dana Rp100 juta tersebut jika tidak masuk ke kas desa?

Apakah ada pekerjaan fisik yang dilaksanakan atas nama BKK tersebut?

Mengapa Plt. Camat sebagai verifikator di tingkat kecamatan justru bungkam?

Diamnya instansi terkait hanya akan memperkuat asumsi publik bahwa telah terjadi praktik tidak sehat, sistematis, dan terstruktur dalam pengelolaan bantuan keuangan desa di Kabupaten Sumenep.

Atas temuan serius ini, tim redaksi akan menindaklanjuti kasus ini kepada Aparat Penegak Hukum (APH), termasuk Kejaksaan dan Inspektorat Daerah, guna menelusuri:

  • Alur pengajuan dan pencairan BKK
  • Dokumen pendukung administratif
  • Identifikasi pihak yang bertanggung jawab
  • Potensi kerugian keuangan negara

Jika terbukti BKK tersebut tidak pernah diajukan dan tidak diketahui oleh Pemerintah Desa Bicabbi, maka indikasi program fiktif dan pencatutan nama desa bukan lagi asumsi, melainkan fakta hukum yang harus diusut tuntas.

Negara tidak boleh kalah oleh akal-akalan anggaran yang mengorbankan hak desa dan kesejahteraan masyarakat.

Redaksi membuka ruang hak jawab dan klarifikasi bagi:

  • Pemerintah Kabupaten Sumenep
  • Dinas PMD Kabupaten Sumenep
  • Dinas PUTR Kabupaten Sumenep
  • Plt. Camat Dungkek
  • Pihak terkait lainnya
  • Klarifikasi dapat disampaikan demi keberimbangan informasi sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
  • Investigasi akan terus berlanjut.

(GUSNO)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *