Tim media diruang tunggu dekat ruangan Rektor Unija Sumenep (Foto: Dok)
Suaranusantara.online
SUMENEP, JAWA TIMUR – Pelaksanaan wisuda Universitas Wiraraja (Unija) Sumenep pada Rabu, 29 Oktober 2025, memicu kemarahan publik.
Selain anggaran yang diklaim mencapai lebih dari satu miliar rupiah dan dinilai tidak transparan, acara wisuda juga menimbulkan kemacetan parah akibat parkir liar yang merugikan pengguna jalan.
Acara wisuda yang berlangsung dari pagi hingga sore hari tersebut menghabiskan dana lebih dari Rp 1 miliar.
Menurut sumber yang dihubungi media, dana tersebut dihimpun dari berbagai sumber dengan pola yang dipertanyakan transparansinya.
Iuran mahasiswa menjadi sumber utama. Sebanyak 900 lebih wisudawan dan wisudawati dipungut biaya Rp 1.950.000 per orang, nominal yang dinilai membebani dan tidak jelas rinciannya.
Yang lebih mengejutkan, penggalangan dana juga dilakukan melalui proposal sponsor kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Sumenep, baik instansi pemerintah maupun swasta, serta pemilik perusahaan besar.
Upaya penggalangan dana tersebut bahkan menjangkau hingga keluar Kabupaten Sumenep.
“Praktik ini terjadi setiap tahun dalam penyelenggaraan wisuda. Tapi, tidak pernah ada penjelasan detail kemana dana sebesar itu digunakan,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya karena khawatir mendapat tekanan.
Publik mempertanyakan: Untuk apa anggaran sebesar itu? Mengapa mahasiswa harus membayar mahal sementara kampus juga mencari sponsor dari berbagai pihak? Hingga kini, tidak ada laporan pertanggungjawaban yang bisa diakses publik.
Selain isu anggaran, kemacetan parah di Jalan Trunojoyo, Desa Kolor, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, membuat warga geram. Kemacetan parah terjadi dari perumahan bumi sumekar sampai hotel safari dan di sekitar Gedung Pertokoan Adioday samapai ke utara lampu merah, akibat parkir liar kendaraan roda empat tamu undangan yang memenuhi badan jalan.
Kondisi ini sangat merugikan pengguna jalan yang tidak ada urusan dengan acara wisuda. Kendaraan terpaksa mengular, aktivitas warga terhambat, dan potensi kerugian ekonomi masyarakat.
“Setiap tahun begini. Kampus besar, budget gede, tapi urusan parkir tidak pernah diatur dengan baik. Kami yang jadi korban,” keluh seorang driver Hold Delivery S-tar yang melintas di lokasi.
Masalah berulang ini menunjukkan minimnya koordinasi kampus dengan pihak terkait, termasuk kepolisian dan dinas perhubungan, dalam mengelola acara berskala besar.
Tim media pada Kamis, 30 Oktober 2025, mendatangi Kampus Unija untuk meminta klarifikasi kepada ketua pelaksana wisuda. Namun, petugas keamanan kampus menyatakan ketua pelaksana tidak berada di tempat.
Tim media kemudian meminta bertemu langsung dengan Rektor Unija. Pihak security sempat bersedia menyampaikan dan meminta tim media menunggu di ruang lobi dekat ruangan rektor.
Tidak lama kemudian, seorang staf rektor yang merupakan wanita muda keluar dan menjelaskan, bahwa rektor sedang berada di luar negeri.
“Maaf, bapak rektor ada acara keluar negeri. Bapak-bapak ini dari instansi mana saja dan apa kepentingannya?” tanya staf rektor dengan nada menyelidik, Kamis (30/10/2025).
Staf tersebut kemudian mempersulit akses dengan menanyakan apakah tim media membawa surat resmi.
“Untuk menghadap rektor diperlukan surat formal. Silakan bapak buat surat resmi,” tegasnya.
Tim media bersikeras untuk dipertemukan dengan panitia pelaksana atau bagian humas guna mengonfirmasi kemacetan di jalan protokol serta masalah parkir liar yang merugikan warga dan dugaan pemborosan anggaran. Namun, pihak kampus terus menghindar dan tidak memberikan akses.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Universitas Wiraraja Sumenep.
Sikap tertutup kampus justru menambah kecurigaan publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
Kasus ini memunculkan sejumlah pertanyaan kritis:
Pertama, mengapa biaya wisuda mencapai lebih dari Rp 1 miliar? Apakah ada standar yang jelas untuk acara akademik semacam ini?
Kedua, mengapa mahasiswa harus membayar hampir Rp 2 juta per orang, sementara kampus juga mencari sponsor dari instansi pemerintah dan swasta? Apakah ini bentuk “bisnis wisuda” yang merugikan mahasiswa dan keluarganya?
Ketiga, mengapa kampus tidak bertanggung jawab atas kemacetan dan parkir liar yang merugikan warga? Apakah tidak ada kewajiban kampus untuk berkoordinasi dengan pihak berwenang?
Keempat, mengapa pihak kampus menutup akses media dan tidak transparan soal penggunaan anggaran? Apa yang mereka sembunyikan?
Publik menuntut transparansi dan akuntabilitas dari Universitas Wiraraja Sumenep. Wisuda adalah momen sakral akademik, bukan ajang bisnis yang membebani mahasiswa dan merugikan masyarakat.
Berita ini disusun berdasarkan informasi yang disampaikan narasumber dan upaya konfirmasi yang dilakukan kepada pihak terkait. Hingga berita ini terbit, pihak Universitas Wiraraja Sumenep belum memberikan tanggapan resmi.
(GUSNO)








