Oleh: Iswanizar
Di ruang rapat Komisi IV DPRD Bangka Belitung, suasana tampak tegang namun penuh perhatian. Para pekerja berseragam sederhana duduk berjajar, sebagian menunduk, sebagian lagi mencatat. Mereka datang membawa keresahan: gaji yang tak jelas, kontrak yang diperpanjang terus, dan hak kompensasi yang tak kunjung dibayar.
“Tidak ada istilah tabungan dalam hubungan kerja! Hak pekerja harus dibayarkan saat kontrak berakhir, bukan ditahan dengan alasan ditabung,” katanya dengan suara mantap.
Kalimat itu sontak mengubah suasana. Di hadapannya duduk perwakilan perusahaan outsourcing mitra PT XL Axiata, yakni PT Berkah Trijaya Indonesia (BTI) dan PT Kerja Manfaat Bangsa (KMB). Mereka datang untuk menjelaskan dugaan pelanggaran hak tenaga kerja yang kini mencuat ke publik.
Masalah bermula dari sistem kontrak kerja yang disebut hanya berlaku tiga bulan, lalu diperpanjang lagi dan lagi, tanpa perjanjian baru yang sah. Para pekerja mengaku tak pernah diberi penjelasan soal status mereka. Mereka hanya tahu: setiap tiga bulan, kontrak baru harus ditandatangani — atau mereka tak lagi dipanggil bekerja.
“Kalau sudah diperpanjang 3 bulan, 3 bulan, 3 bulan terus, itu bukan lagi pekerja sementara. Itu sudah harus kontrak satu tahun. Kalau lebih dari lima tahun, wajib diangkat tetap,” ujarnya tegas.
Ia mengutip PP Nomor 35 Tahun 2021 yang mengatur sistem kerja waktu tertentu dan kompensasinya. Bagi Maryam, masalah ini bukan sekadar administrasi, melainkan soal martabat dan keadilan pekerja.
“Sering kali mereka tidak tahu apa yang mereka tanda tangani. Bahkan kompensasi dibilang ditabung, padahal seharusnya dibayar setiap kontrak berakhir,” lanjutnya.
Dalam rapat yang dipimpin Heryawandi, terungkap bahwa para pekerja ini sebelumnya direkrut langsung oleh PT XL Axiata, sebelum kemudian dialihkan ke perusahaan outsourcing. Namun, belum ada kejelasan apakah hak kompensasi dari perusahaan awal sudah dibayar penuh sebelum peralihan.
Maryam melihat di sinilah akar persoalan.
“Perusahaan yang pertama merekrut harus menyelesaikan kewajibannya dulu. Kalau belum, tanggung jawabnya beralih ke perusahaan berikutnya. Dan pekerja wajib diberi tahu!” tegasnya.
Ia menilai, kekacauan ini lahir dari minimnya komunikasi dan lemahnya pengawasan, terutama karena perusahaan outsourcing berasal dari luar Bangka Belitung.
“Kalau perusahaannya di Jakarta, pekerjanya di sini, siapa yang bisa awasi? Kami ini jauh, tapi rakyat datangnya ke DPRD. Jadi tolonglah, ambil outsourcing dari Bangka Belitung saja,” serunya.
Di ruang rapat itu, Maryam bukan sekadar berbicara sebagai anggota dewan. Ia berbicara seperti ibu yang membela anak-anaknya yang lemah di hadapan sistem yang kaku.
“Kalau hanya urusan kontrak tiga bulan belum dibayar, tidak perlu sampai ke Jakarta. Selesaikan saja di sini, segera, besok. Jangan sampai lari ke pidana. Itu penggelapan hak!” katanya.
Beberapa pekerja ada yang meneteskan air mata kecil. Bagi mereka, perjuangan ke DPRD adalah jalan terakhir setelah berbulan-bulan menunggu tanpa kepastian.
Maryam menutup pernyataannya dengan nada lembut tapi tegas:
“DPRD tidak akan diam. Kami berpihak kepada pekerja Bangka Belitung. Tapi hubungan industrial tetap harus harmonis. Kita cari solusi tanpa merusak kepercayaan.”
Pernyataan Maryam bukan sekadar kritik terhadap dua perusahaan outsourcing itu. Lebih dalam, ia sedang menyentil sistem ketenagakerjaan yang makin liberal di Bangka Belitung, di mana tenaga kerja lokal sering kali tersisih oleh birokrasi outsourcing yang berlapis.
Dalam beberapa tahun terakhir, sistem serupa juga terjadi di sektor lain — dari tambang timah hingga perkebunan. Banyak pekerja hanya dikontrak tiga bulan, dibayar minim, tanpa kepastian nasib.
Maryam sadar betul, persoalan ini bukan sekadar soal gaji, tapi tentang harga diri pekerja lokal yang kian terpinggirkan di tanah sendiri.
“Kalau urusan 600 pekerja tambang bisa kami kawal sampai kementerian, apalagi kasus kecil seperti ini. Jangan sampai hak rakyat dipermainkan dengan alasan kontrak administratif,” katanya seusai rapat.
Menjelang Sholat Zuhur, rapat berakhir dengan tepuk tangan kecil. Para pekerja meninggalkan ruang rapat dengan langkah lebih ringan, membawa harapan baru. Di meja, Maryam masih duduk sebentar, menutup map kuning di depannya.
Ia tahu, perjuangan belum selesai. Tapi hari itu, suara dari Komisi IV telah menggema—mengingatkan bahwa hak pekerja bukan untuk ditabung, tapi untuk ditegakkan.








