Skandal Miliaran Rupiah: Tangkis Laut “Siluman” di Pulau Sabuntan Diduga untuk Kepentingan Segelintir Orang

Suaranusantara.online

SAPEKEN, SUMENEP – Pembangunan tangkis laut tak bermanfaat mencuat ke permukaan. Tangkis laut senilai miliaran rupiah di Pulau Sabuntan, Desa Sabuntan, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur itu, kini menjadi bahan amarah warga yang merasa ditipu mentah-mentah oleh oknum yang bermain di balik proyek infrastruktur ini.

Bukan sekadar kekecewaan biasa. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat kepulauan yang selama ini hidup dengan keterbatasan, namun harus menyaksikan anggaran besar dihamburkan untuk proyek yang sama sekali tidak berguna bagi mereka.

Bayangkan, membangun tembok penahan di tengah kolam renang yang dalam. Itulah yang terjadi di Pulau Sabuntan. Tangkis laut sepanjang 150 meter dibangun tepat di area pantai yang dalam, bukan di garis pantai yang rawan abrasi seperti seharusnya.

“Ini kan aneh, masa tangkis laut dibangun di tempat yang dalam? Kalau memang untuk melindungi pantai, kenapa tidak di tempat yang dangkal dan rawan abrasi? lagipula lokasi itu kan sudah ada bangunan tangkis laut” protes salah seorang warga nelayan setempat yang enggan disebutkan namanya, baru-baru ini.

Konstruksi dibagi menjadi dua titik berbeda dengan detail yang mencurigakan: satu segmen berukuran 25 meter, sisanya dibangun di lokasi yang sudah ada tangkis lautnya yang dibangun di tahun sebelumnya.

Pembagian yang tidak masuk akal ini semakin menguatkan dugaan, bahwa proyek ini dirancang bukan untuk kepentingan umum.

Proyek ini sama sekali tidak memiliki papan informasi proyek. Tidak ada informasi sumber anggaran, tidak ada timeline pengerjaan, bahkan tidak ada keterangan tujuan pembangunan.

Di era transparansi seperti sekarang, proyek pemerintah tanpa papan informasi adalah hal yang sangat mencurigakan. Seolah-olah ada yang sengaja menyembunyikan jejak dan identitas proyek ini dari mata publik.

“Proyek ini kok seperti dikerjakan sembunyi-sembunyi? Kalau memang benar dan halal, kenapa tidak ada papan proyeknya?” tukas seorang masyarakat dengan nada kecewa.

Yang lebih mengkhawatirkan, pembangunan tangkis laut ini menggunakan batu karang basah yang diambil langsung dari dasar laut sekitar.

Praktik ini bukan hanya melanggar prinsip konservasi, tetapi juga merusak habitat ikan yang menjadi sumber mata pencaharian utama warga.

Eksploitasi karang laut untuk proyek yang tidak jelas manfaatnya ini adalah tamparan keras bagi masyarakat pesisir yang hidupnya bergantung pada kelestarian ekosistem laut.

Ironi yang menyakitkan: proyek yang katanya untuk melindungi pesisir malah merusak lingkungan laut itu sendiri.

Desa Sabuntan bukanlah desa biasa. Wilayah administratif unik yang terdiri dari tiga pulau terpisah – Pulau Sabuntan, Pulau Sapangkur Kecil, dan Pulau Sapangkur Besar. Desa Sabuntan menerima alokasi anggaran yang fantastis di tahun 2025, Dana Desa 2025: Rp 1.227.236.000 dan Bantuan Keuangan Pokir DPRD: Rp 3.350.000.000, total lebih dari Rp 4,5 miliar.

Angka yang luar biasa besar untuk sebuah desa kepulauan dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit. Namun, realitanya mengejutkan: warga sama sekali tidak merasakan dampak positif dari anggaran besar tersebut.

Pola pembangunan tangkis laut di Pulau Sabuntan menunjukkan indikasi kuat adanya permainan kotor. Lokasi yang tidak strategis, tidak adanya transparansi proyek, dan penggunaan anggaran yang tidak proporsional mengarah pada satu kesimpulan: ada pihak yang mengambil keuntungan pribadi dari proyek ini.

Dugaan ini semakin kuat ketika melihat tidak adanya sosialisasi proyek kepada masyarakat. Proyek infrastruktur yang baik selalu melibatkan partisipasi masyarakat sejak tahap perencanaan. Namun, tangkis laut ini muncul begitu saja tanpa pernah dikonsultasikan dengan warga yang seharusnya menjadi penerima manfaat.

Kekecewaan warga sabuntan bukan tanpa alasan. Mereka yang hidup di pulau terpencil dengan akses terbatas ini merasa dipermainkan oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.

“Panjangnya kurang lebih 150 meter dibangun di dua tempat, yang di sini kurang lebih 25 meter yang satunya dibangun di lokasi rumah yang ada timbunan batu karang dan itupun sudah ada tangkis lautnya. Tapi untuk apa? Kami tidak butuh tangkis laut di tempat yang dalam. Kami butuh dermaga yang layak, jalan yang tidak rusak, air bersih yang cukup,” ungkap salah satu warga dengan nada putus asa.

Keluhan ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam perencanaan pembangunan yang tidak berbasis kebutuhan masyarakat, melainkan berbasis kepentingan segelintir pihak yang berkuasa.

Masyarakat Desa Sabuntan kini menuntut transparansi penuh atas proyek kontroversial ini. Mereka mendesak pemerintah desa dan kabupaten untuk:

1. Membuka seluruh dokumen proyek termasuk Rencana Anggaran Biaya (RAB)
2. Mengungkap identitas pihak-pihak yang terlibat dalam proyek
3. Melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan Dana Desa dan Bantuan Pokir DPRD
4. Memberikan ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi
5. Menghentikan sementara semua proyek serupa hingga ada kejelasan

“Kami tidak akan diam. Uang itu uang rakyat, bukan uang pribadi siapa pun. Kalau ada yang main-main dengan uang rakyat, kami akan berjuang sampai ke pusat,” tegas salah seorang tokoh masyarakat yang lembaga pendidikannya pernah dirugikan oleh oknum kepala desa setempat.

Kasus tangkis laut Pulau Sabuntan adalah cerminan dari praktik korup yang masih mengakar di level pemerintahan desa. Anggapan bahwa masyarakat kepulauan mudah dibodohi dan tidak akan berani bersuara ternyata keliru besar.

Era transparansi dan media sosial telah memberdayakan masyarakat untuk mengawasi dan mengkritisi setiap kebijakan pemerintah.

Praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang tidak akan pernah bisa disembunyikan selamanya.

Momentum ini harus dimanfaatkan untuk membersihkan tata kelola pemerintahan desa dari praktik-praktik yang merugikan masyarakat. Pengawasan ketat dari masyarakat sipil, media, dan lembaga penegak hukum menjadi kunci untuk mencegah berulangnya kasus serupa.

Hingga berita ini dipublikasikan, Pemerintah Desa Sabuntan, Pemerintah Kecamatan Sapeken, dan Pemerintah Kabupaten Sumenep belum memberikan tanggapan resmi atas tuduhan serius ini. Keheningan mereka justru semakin memperkuat dugaan adanya sesuatu yang disembunyikan.

Redaksi Media Suara Nusantara Online tetap terbuka untuk memberikan hak jawab kepada pihak-pihak terkait yang ingin memberikan klarifikasi atas tuduhan dalam pemberitaan ini.

Media ini akan terus memantau perkembangan kasus ini. Keadilan untuk masyarakat Pulau Sabuntan adalah keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia.

(GUSNO)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *