SY, warga Kecamatan Raas (kanan) dan M, warga Kecamatan Sapeken (kiri)
Suaranusantara.online
SUMENEP – Setelah kasus penetapan tersangka Koordinator Kabupaten (Korkap) terkait pemotongan anggaran Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) 2024, kini muncul dugaan baru yang tak kalah menggemparkan.
Kecamatan Sapeken dan Raas, Kabupaten Sumenep, kembali menjadi sorotan publik akibat indikasi pekerjaan fiktif program BSPS 2024.
Dugaan penyimpangan terbaru ini muncul setelah viral kasus yang telah menyeret Korkap sebagai tersangka.
Kejaksaan Negeri Sumenep dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur kini tengah intensif memanggil berbagai pihak terkait, mulai dari masyarakat kelompok penerima manfaat, kepala desa, Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL), hingga toko penyedia material baik di daratan maupun kepulauan.
Yang mengejutkan, fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan. Beberapa penerima bantuan melaporkan rumah mereka yang tak kunjung selesai dibangun, bahkan ada yang sama sekali tidak tersentuh pembangunan meskipun nama mereka resmi terdaftar sebagai beneficiary program BSPS 2024.
Salah seorang korban berinisial M mengungkapkan pengalaman yang mencengangkan. Warga yang mengaku tidak pernah menandatangani buku rekening bank penyalur ini terkejut mendapati nama dan NIK-nya tercantum jelas dalam daftar resmi penerima bantuan.
“Saya tidak pernah dipanggil pak ke balai desa terkait pembuatan buku rekening,” tegas M kepada media ini via WhatsApp pada Jumat (25/7/2025).
Pengakuan ini membuka tabir gelap proses pencairan dana bantuan yang seharusnya melibatkan langsung penerima manfaat, meskipun dana tersebut nantinya oleh pihak bank penyalur disalurkan kepada pihak toko penyedia material.
Kondisi serupa juga terjadi di Kecamatan Raas. Berdasarkan hasil investigasi lapangan dan dibantu informasi tokoh masyarakat setempat kepulauan Raas maupun kecamatan Sapeken di salah satu desa di kecamatan tersebut, program BSPS 2024 banyak yang tidak dikerjakan hingga saat ini.
Dalam keterangan seorang ibu rumah tangga berinisial SY terlihat mengeluh karena rumahnya sudah tiga tahun berturut-turut didatangi perangkat pemerintah setempat untuk difoto dan dimintai fotokopi KK serta KTP, namun hingga kini tak pernah mendapat program BSPS.
“Tiga kali rumah saya didatangi perangkat desa setiap tahunnya, difoto rumah saya juga diminta fotokopi KK dan KTP, namun sampai sekarang tak pernah dapat,” keluh SY sepekan lalu
Yang lebih mengherankan, nama SY tercatat dalam daftar penerima BSPS tahun 2024, namun rumahnya tidak pernah dibangun sama sekali.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai kemungkinan tumpang tindih program BSPS dengan program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang dianggarkan dari dana desa di tahun yang sama.
Dugaan ini semakin memperkuat indikasi terjadinya penyimpangan sistematis dalam pengelolaan bantuan sosial di wilayah kepulauan.
Kondisi geografis kepulauan yang sulit dijangkau diduga menjadi salah satu faktor yang mempersulit pengawasan efektif terhadap pelaksanaan program BSPS. Jarak yang jauh dan akses transportasi yang terbatas membuat verifikasi lapangan menjadi tantangan tersendiri bagi aparat pengawas.
Namun, hal ini tidak boleh menjadi alasan pembenaran bagi terjadinya penyimpangan. Masyarakat di kepulauan justru lebih membutuhkan perhatian dan perlindungan dari kemungkinan penyelewengan program bantuan pemerintah.
Kasus BSPS 2024 di Kecamatan Sapeken dan Raas ini menjadi pelajaran penting bahwa pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif masyarakat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan serupa di masa mendatang.
Perkembangan kasus ini akan terus dipantau dan dilaporkan seiring dengan berjalannya proses hukum di Kejaksaan Negeri Sumenep dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
(GUSNO)








