Suaranusantara.onlime
Tanjung Selor – Kuasa hukum N, Direktur Utama (Dirut) PT Banyu Telaga Mas (BTM), menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang pertama dugaan tindak pidana penambangan ilegal di Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara), gagal paham soal administrasi.
Hal itu disampaikan Kusmanto didampingi Dwi, keduanya merupakan tim hukum dari GP Law Firm selaku kuasa hukum N dalam persidangan pertama yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Selor, Kaltara.
“Melihat isi dakwaan, ada dua hal yang menjadi penyebab klien kami (N) didakwa. Yakni dianggap tidak sah dalam kapasitas jabatannya sebagai Dirut PT. BTM, dan yang kedua karena PT. BTM tidak memiliki RKAB Tahun 2023,” kata Kusmanto dalam keterangan tertulis, Jum’at (23/6/2023).
Atas dakwaan yang disampaikan JPU itu, ia menilai sangat lucu sekali ketika JPU mempermasalahkan status N sebagai Dirut PT. BTM hanya karena tidak tercatat di Modi ESDM, padahal Modi ESDM sifatnya hanya administrasi atau terkait pencatatan saja.
“Sah atau tidaknya sebuah perubahan perseroan itu dibuktikan dengan adanya pencatatan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) selaku Kementerian yang berwenang,” ujarnya.
Dalam hal ini, lanjutnya, pergantian Dirut PT. BTM telah mendapat pengesahan dan dicatat oleh Kemenkumham sebagaimana Surat Nomor AHU-AH.01.09-0039245 perihal Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan PT. Banyu Telaga Mas tertanggal 26 Juli 2022.
“Sampai dengan saat ini baik akta notaris maupun surat Kemenkumham terkait perubahan Dirut PT. BTM belum juga dibatalkan sehingga cukup aneh jika JPU menggunakan acuan Data Modi ESDM daripada pengesahan Kemenkumham perihal sah tidaknya pergantian direksi sebuah perseroan,” paparnya.
Apalagi, lanjut Kusmanto, sebenarnya kliennya selaku Dirut PT. BTM juga telah mengirimkan data perubahan Direksi ke ESDM untuk dicatat dalam MODI ESDM.
Perihal tidak adanya RKAB Tahun 2023, ia mengungkapkan, terkait RKAB Tahun 2023 untuk PT. BTM belum disetujui. Padahal telah dikirim sejak Februari lalu. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, karena PT. BTM belum memiliki RKAB Tahun 2023, sehingga sampai saat ini tidak pernah melakukan aktivitas pertambangan.
“Namun kalaupun ada kegiatan yang disangkakan kepada PT. BTM karena dianggap belum memiliki RKAB Tahun 2023, perlu diketahui jika hal tersebut adalah merupakan pelanggaran administrasi bukan pelanggaran pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 95 Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2020,” tegasnya.
Dengan adanya fakta-fakta yang disampaikannya itu, ditegaskan Kusmanto bahwa sangat jelas jika JPU salah memahami antara mana pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana.
“Kami cukup yakin jika klien kami selaku Dirut PT. BTM tidak bersalah dan akan kami buktikan dipersidangan nantinya,” sambungnya.
“Masalah hukum yang terjadi di tubuh PT.BTM menjadi sebuah momen yang tidak baik bagi iklim investasi di Indonesia khususnya di Kaltara, dimana PT. BTM yang telah memiliki IUP produksi dituduh melakukan tambang ilegal di wilayah IUP-nya sendiri,” imbuh Kusmanto.
Perlu diketahui, dalam sidang pertama itu, N selaku Dirut PT. BTM didakwa oleh JPU melakukan tindak pidana “Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin berusaha” Jo. “Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan”.
Dakwaan itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 UU Minerba Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP atau “setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengelolaan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan g, Pasal 104, atau Pasal 105” Jo “Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 UU Minerba Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Sumber: Mitha & Kefas