Rina Tarol Semprot Bank Sumsel Babel: Anak Tirikan Babel, Dana Jumbo Tak Dinikmati Daerah Sendiri

PANGKALPINANG — Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rina Tarol, melontarkan kritik tajam terhadap manajemen Bank Sumsel Babel dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di ruang Komisi II DPRD Babel, Senin (7/7/2025). Ia menilai, Bank Sumsel Babel telah bersikap diskriminatif terhadap Provinsi Bangka Belitung dan tidak memberikan kontribusi maksimal bagi masyarakat daerah.

Dalam forum resmi tersebut, Rina mengungkapkan bahwa Provinsi Bangka Belitung selama ini justru seolah menjadi “anak tiri” bagi bank daerah tersebut. Dana milik masyarakat Babel yang disimpan di Bank Sumsel Babel dinilai tidak sepenuhnya kembali dalam bentuk manfaat atau pelayanan optimal.

“Bank Sumsel Babel menyebut Babel seperti anak tiri!” seru Rina lantang. “Bayangkan saja, mau kredit saja sudah uang Babel dipakai daerah lain. Berarti ini hancur-hancur!”

Rina juga mempersoalkan angka biaya operasional yang menurut laporan keuangan Bank Sumsel Babel mencapai Rp 860 miliar, serta biaya promosi sebesar Rp 62 miliar. Angka tersebut, menurutnya, sangat janggal karena tidak disertai rincian yang jelas dan tidak dirasakan gaungnya di Bangka Belitung.

“Biaya promosi 62 miliar. Saya pindahin, biaya lainnya, biaya lainnya apa? Kami minta penjelasannya, biaya operasional sampai 860 miliar ini atas apa saja sebenarnya, Pak?” tegas Rina, mempertanyakan transparansi manajemen bank.

Ia juga menyoroti lemahnya proses pengadaan di lingkungan Bank Sumsel Babel. Hingga saat ini, menurutnya, publik belum pernah melihat adanya proses lelang terbuka yang diumumkan secara resmi oleh pihak bank.

“Kami nggak pernah lihat Bank Sumsel itu mengadakan lelang yang terbuka,” kata dia. “Padahal, sesuai aturan, pengadaan semestinya diumumkan secara transparan.”

Tudingan Praktik “Bakso-Baksoan” dan Kredit Bermasalah

Lebih lanjut, Rina melempar tudingan serius adanya praktik “bakso-baksoan”, istilah yang ia gunakan untuk menggambarkan kemungkinan adanya modus tersembunyi dalam pengelolaan keuangan yang merugikan provinsi. Ia mengkritisi bunga kredit yang diberikan di bawah BI Rate (5,5%) serta pembiaran terhadap sejumlah kredit bermasalah.

“Ini jelas nih caranya melanggar aturan nih,” tegas Rina.

Politikus perempuan ini juga mengungkap temuan bahwa ada 46 debitur bermasalah yang sebagian besar berasal dari koperasi di luar Babel, seperti di Lampung dan Jambi. Padahal, Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk masyarakat lokal justru sulit diakses.

“Agak aneh, Pak. KUR kami susah, tapi koperasi di daerah lain malah dapat. Setelah mati, debitur di Bank Sumselnya. Ini aneh, ini agak sedikit aneh Bank Sumselnya,” ujarnya heran.

Rina juga menyampaikan keluhan dari bank-bank perkreditan rakyat (BPR) di Bangka Belitung yang merasa diperlakukan tidak adil. Menurutnya, BPR lokal sulit menjangkau program KUR karena adanya pembatasan yang tidak logis dari Bank Sumsel Babel, padahal bank daerah ini menerima limpahan dana besar.

“Segitu sedihnya kami Bank BPR itu. Pak, bayangin KUR-nya bank setengah itu lagi melaju. Kami yang rakyat, yang ngajarin masyarakat, itu tidak dapat-dapat,” keluhnya.

Rina Tarol menegaskan pentingnya kepedulian pemerintah daerah terhadap operasional Bank Sumsel Babel. Ia mengingatkan bahwa bank milik daerah seharusnya tidak dikuasai oleh segelintir elite atau dijadikan alat kepentingan kepala daerah tertentu.

“Jangan kepentingan kepala daerah. Jangan kepala daerah yang bisa mengeluarkan Bank Sumsel. Masyarakatnya enggak bisa,” pungkasnya.

RDP ini menjadi panggung penting bagi DPRD Babel untuk meminta transparansi, keadilan, dan keberpihakan dari Bank Sumsel Babel terhadap masyarakat Provinsi Bangka Belitung. Rina Tarol berharap, ke depan, bank milik pemerintah daerah ini benar-benar menjadi alat pembangunan, bukan hanya alat bisnis yang merugikan daerah sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *