Oleh nizar
PANGKALPINANG — Matahari pagi belum tinggi ketika halaman Gedung Perpustakaan Umum Kota Pangkalpinang mulai ramai oleh suara anak-anak sekolah. Mereka berbaris rapi, sebagian memegang buku favorit, sebagian lagi menenteng piala kecil hasil lomba literasi. Di tengah keramaian itu, Wali Kota Pangkalpinang, Prof. Saparudin, berdiri tersenyum sembari menyalami para pelajar satu per satu. Senin itu, 08:30 WIB, menjadi saksi sebuah momentum yang ingin mengembalikan ruh membaca di kota ini: Pengukuhan Bunda Literasi Kota Pangkalpinang.
Suasana hangat berubah hening ketika Prof. Saparudin mulai berbicara. Dengan gaya tutur yang terukur, ia membuka pidatonya dengan satu kalimat sederhana yang sekaligus menjadi fondasi dari seluruh pemikirannya: “Belajar adalah nomor satu dalam hidup kita.” Kalimat itu meluncur pelan, tetapi bobotnya terasa bagi siapa pun yang mendengarnya.
Literasi sebagai Fondasi Peradaban
Dalam pidatonya, Saparudin berkisah tentang seorang sahabat berusia 86 tahun yang masih kuat berdiskusi, jernih berpikir, dan cerdas menyampaikan pandangan. Rahasianya? Bukan obat, bukan suplemen, melainkan membaca, mendengar, dan menulis setiap hari. Kisah itu seakan menjadi metafora tentang apa yang sesungguhnya sedang diupayakan oleh Kota Pangkalpinang: membangun kebiasaan membaca sebagai dasar kemajuan masyarakatnya.
“Orang yang rajin menulis pasti rajin membaca,” ujarnya sambil menatap para wartawan yang hadir. Pesannya jelas: literasi bukan sekadar aktivitas sekolah, melainkan latihan yang memahat cara manusia memandang dunia.
Kondisi ini, menurutnya, berkaitan erat dengan perkembangan teknologi. Di era digital, anak-anak bisa membaca apa pun melalui gawai. “Yang penting bagaimana internet itu kita gunakan untuk mengembangkan diri, bukan hanya game,” katanya, sembari tersenyum kecil kepada sejumlah bocah yang merasa tersindir.
Membangun SDM Sama Pentingnya dengan Membangun Infrastruktur
Dalam bagian lain pidatonya, Saparudin mengangkat perumpamaan menarik. Ia mengibaratkan pembangunan sebagai dua sisi mata uang: satu sisi adalah gedung dan jalan, sisi lainnya adalah manusianya. Tanpa keduanya, kemajuan daerah tidak akan pernah bertemu.
“Tidak cukup bangun gedung saja. Bangun manusia adalah investasi jangka panjang,” ucapnya. Karena itu, ia menegaskan bahwa Dinas Perpustakaan dan Kearsipan memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan sumber daya manusia.
Data internal perpustakaan mencatat rata-rata 10 ribu pengunjung per tahun. “Kita harus dorong lebih banyak. Perpustakaan harus menjadi magnet masyarakat,” tambahnya. Bahkan ia mengusulkan gerakan gotong royong pengumpulan buku menjelang Hari Buku Nasional, 17 Mei. Jika 100 ribu warga menyumbang satu buku saja, perpustakaan akan menjadi salah satu yang terkaya di daerah.
Perpustakaan ini tidak berdiri dengan nama sembarangan. Ia menyandang nama Zulkarnain Karim, Wali Kota Pangkalpinang periode 2003–2013, tokoh yang meninggalkan banyak jejak pembangunan dasar kota ini. “Adik-adik harus mengenal beliau,” kata Saparudin, mengingatkan generasi muda terhadap sejarah kotanya sendiri.
Ia lalu kembali menautkan literasi dengan identitas daerah: Pangkalpinang resmi menjadi ibu kota provinsi Bangka Belitung sejak 21 November 2000—momen yang tahun ini genap 25 tahun.

Saparudin ingin perpustakaan tidak hanya menjadi ruang sunyi yang disinggahi mahasiswa saat mencari referensi skripsi. Ia ingin tempat ini menjadi pusat pendidikan, pusat informasi, dan pusat rekreasi masyarakat. “Siapkan komputer, siapkan akses buku digital,” ujarnya kepada dinas terkait, memastikan perpustakaan bergerak mengikuti zaman.
Di tengah pidatonya, ia menyampaikan contoh kuat tentang gotong royong. Dalam dua tahun, masyarakat berhasil membangun Masjid Haji Bakri dengan dana mencapai Rp4 miliar—tanpa bergantung APBD. “Ini bukti dahsyatnya gotong royong,” katanya. Dari sini ia menarik satu pesan: program yang baik tidak harus dimulai dari uang. “Yang terpenting niat, manfaat, dan dampaknya,” tambahnya.
Pesan ini selaras dengan konsep inklusif sosial yang kini menjadi arah pembangunan literasi kota.
Pengukuhan Bunda Literasi Kota Pangkalpinang pagi itu bukan sekadar seremonial. Bagi Saparudin, sosok Bunda Literasi adalah figur inspiratif yang harus mampu memicu kreativitas anak-anak dan masyarakat. Ia ingin ada inovasi, program kreatif, kampanye membaca, hingga gerakan masyarakat yang benar-benar menyentuh warga.
“Literasi adalah tanggung jawab semua elemen masyarakat,” katanya menutup sambutan.
Acara ditutup dengan sorak kecil anak-anak yang berfoto bersama Wali Kota. Di sudut ruang, tumpukan buku-buku baru terlihat seperti menunggu pembacanya. Para orang tua menyeruput kopi di teras gedung.
Pagi itu, Perpustakaan Zulkarnain Karim terasa hidup. Tidak hanya sebagai bangunan, tetapi sebagai simbol tekad kota ini untuk mencetak generasi yang haus pengetahuan.
Di tengah derasnya informasi digital dan pesatnya perkembangan kota, satu pesan Wali Kota tetap menggema:
“Membaca adalah awal dari segalanya. Dari literasilah kemajuan Pangkalpinang dilahirkan.”








