Polemik Kenaikan Royalti 10 Persen PT Timah: Seimbangkah dengan Dampak Lingkungan?

PANGKALPINANG, Suaranusantara.online –

Usulan kenaikan royalti PT Timah menjadi 10 persen masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat, terutama terkait apakah angka tersebut cukup untuk menutupi kerusakan lingkungan pasca-penambangan. Persoalan ini menimbulkan banyak pertanyaan, terutama mengenai seberapa besar royalti ini mampu mengimbangi dampak ekologis yang ditinggalkan.

Doktor Ilmu Ekonomi Marshal Imar Pratama menilai, meskipun royalti ini memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi, kompleksitas dampak lingkungan membuatnya sulit untuk sekadar diperhitungkan dari sisi finansial semata. “Nilai ekonomi sering kali sulit dibandingkan langsung dengan dampak lingkungan,” ungkapnya.

Royalti yang hanya diterima Babel

Data kementrian ESDM

Marshal mengidentifikasi beberapa faktor utama yang bisa menjadi pertimbangan dalam melihat perbandingan antara nilai royalti dan kerusakan lingkungan akibat tambang. Ia merinci lima poin penting yang dapat menjadi acuan.

1. Skala dan Jenis Kerusakan Lingkungan

Marshal menjelaskan, kerusakan lingkungan dari pertambangan timah mencakup jangka panjang. Deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, erosi tanah, serta pencemaran air dan tanah adalah beberapa dampak yang ditimbulkan dan cenderung sulit, bahkan tak mungkin, sepenuhnya dipulihkan. Selain itu, dampak ekologis juga turut memengaruhi masyarakat sekitar, seperti berkurangnya akses air bersih, kesehatan masyarakat, hingga mata pencaharian tradisional seperti pertanian dan perikanan.

2. Biaya Pemulihan Lingkungan Dibandingkan dengan Nilai Royalti

Marshal memaparkan bahwa biaya pemulihan lingkungan yang rusak sering kali jauh lebih besar daripada nilai royalti yang diperoleh. Program-program seperti reboisasi, pengolahan limbah, dan rehabilitasi ekosistem membutuhkan waktu puluhan tahun serta anggaran yang besar. Industri pertambangan juga sering menimbulkan “eksternalitas,” atau biaya tersembunyi yang tidak tercermin dalam biaya produksi dan justru harus ditanggung oleh masyarakat dan generasi mendatang.

3. Manfaat Ekonomi Jangka Pendek bagi Daerah

Menurut Marshal, royalti 10 persen dapat memberikan pemasukan signifikan dalam jangka pendek yang bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. “Namun, apabila royalti ini tidak dialokasikan untuk program berkelanjutan atau pemulihan lingkungan, manfaat ekonomi tersebut hanya akan dirasakan dalam jangka pendek, sementara kerusakan lingkungan bersifat lebih lama,” ungkapnya.

4. Pendekatan Valuasi Dampak Lingkungan dalam Nilai Ekonomi

Marshal menjelaskan bahwa beberapa pendekatan valuasi dapat membantu mengukur dampak lingkungan dalam bentuk nilai ekonomi, seperti biaya kesehatan akibat pencemaran atau nilai dari layanan ekosistem yang hilang. Metode ini menunjukkan bahwa dampak kerusakan lingkungan yang dialami masyarakat sering kali lebih besar dari royalti yang diterima.

Ia menambahkan, wilayah yang bergantung pada pendapatan dari sektor pertambangan kerap mendapati bahwa meskipun penerimaan royalti cukup besar, dalam jangka panjang biaya sosial dan lingkungan yang harus ditanggung bisa jauh melampaui pendapatan tersebut.

5. Alternatif Penggunaan Dana untuk Mitigasi dan Pengembangan Berkelanjutan

Marshal menyarankan agar sebagian dana royalti bisa dialokasikan untuk mitigasi dampak lingkungan, seperti investasi dalam teknologi ramah lingkungan, program reboisasi, atau pelatihan bagi masyarakat lokal untuk mendukung pekerjaan di luar sektor tambang. Alternatif lainnya adalah membentuk dana cadangan khusus rehabilitasi lingkungan pasca-tambang yang menjadi tanggung jawab perusahaan atau penerima royalti.

Kesimpulan: Sebandingkah Royalti 10 Persen dengan Dampak Lingkungan?

Marshal menegaskan bahwa dalam banyak kasus, royalti sebesar 10 persen kemungkinan besar tidak sebanding dengan dampak negatif yang diakibatkan oleh industri pertambangan timah, terutama jika mempertimbangkan dampak jangka panjang dan biaya pemulihan yang besar.

Jika ada upaya mitigasi melalui regulasi yang ketat atau teknologi ramah lingkungan, royalti ini mungkin dapat diterima. Namun, tanpa mitigasi yang memadai, dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat lokal akan lebih besar daripada manfaat ekonominya,” pungkas Marshal.

(T-APPI)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *