Editor: Bangdoi
BANGKATENGAH, — Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait rencana pembangunan PLTN Thorcon 500 di Pulau Gelasa justru berubah menjadi forum pembongkaran masalah.
Alih-alih mendapat legitimasi, PT Thorcon Power Indonesia menghadapi sorotan tajam, interupsi keras, dan penolakan terbuka dari DPRD, pemerintah desa, media, hingga masyarakat pesisir.
RDPU yang digelar Selasa (16/12/2025) di Ruang Paripurna DPRD Bangka Tengah memperlihatkan satu benang merah bahwa proyek nuklir ini berjalan lebih cepat dari pemahaman publik, lebih dulu dari regulasi daerah, dan jauh dari persetujuan masyarakat.
Klaim 80 Persen Persetujuan Dipertanyakan
Direktur PT Thorcon, Dhita Karunia Ashari, menyebut 80 persen masyarakat menerima proyek PLTN.
“Kami sudah melakukan survei pada saat ini masih dalam pengolahan data dan hasilnya 80% masyarakat menerima,” ujar Dhita saat paparan di DPRD Bateng.
Dhita juga mengakui pihaknya masih dalam tahapan proses.
“Kita tidak akan bergerak apabila belum ada regulasi yang mensupport kegiatan ini dapat berlangsung,” ucapnya.
Klaim ini langsung dipatahkan di forum terbuka.
Camat Lubuk Besar secara tegas mempertanyakan dari mana angka itu berasal.
“Sejak kapan masyarakat tahu? Dari media saja kami baru paham. Lalu surveinya siapa, metodenya apa?” ujarnya.
Nada serupa datang dari Kepala Desa Batu Beriga, yang menyatakan warganya belum pernah mendapat penjelasan utuh.
“Yang kami takutkan jelas nelayan terganggu, lingkungan rusak, dan masyarakat menanggung dampak,” tegasnya.
Bertabrakan dengan RTRW dan Status Kawasan
Fakta krusial disampaikan Edi Purwanto (Komisi III DPRD Bateng):
Pulau Gelasa masih berada dalam RTRW 2019 dengan status zona reservasi kawasan suaka alam dan pariwisata.
Artinya, secara tata ruang, PLTN belum punya pijakan hukum kuat.
Pertanyaan tajam dilontarkan Haji Rut (Komisi III):
“Siapa yang merekomendasikan titik Pulau Gelasa? Siapa yang memberi izin awal? Kenapa sudah ada aktivitas di sana?”
Pertanyaan itu tak terjawab tuntas.
Aktivis dan perwakilan masyarakat Palmulip membuka tabir lain.
“Ini bukan program nasional. Thorcon bekerja sama dengan perusahaan Amerika. Ini proyek bisnis, bukan mandat negara.” tandasnya.
Pernyataan ini memperkuat kecurigaan bahwa Pulau Gelasa berpotensi dijadikan proyek uji coba swasta, sementara risiko sosial dan ekologis ditanggung daerah.
Media dan Publik Ditinggalkan
Perwakilan media menyebut Thorcon tidak pernah melibatkan pers.
“Masalah timah saja belum selesai, sekarang ditambah isu nuklir. Apa tidak makin memanaskan situasi?” kritik wartawan di forum.
Minimnya keterbukaan ini memperkuat kesan bahwa proyek berjalan di balik meja, sementara masyarakat baru “diberi tahu” setelah rencana hampir matang.
Meski aparat menyebut RDPU berlangsung aman dan kondusif, substansi rapat justru menunjukkan potensi konflik serius ke depan.
Pulau kecil, status kawasan sensitif, klaim sepihak, dan proyek berisiko tinggi menjadi kombinasi berbahaya.
Pulau Gelasa bukan ruang kosong.
Ia adalah ruang hidup nelayan, kawasan ekologis, dan bagian dari masa depan Bangka Tengah.
RDPU ini memberi sinyal kuat bahwa
penolakan terhadap PLTN Thorcon bukan isu pinggiran.
Tapi penolakan ini sedang tumbuh menjadi perlawanan terbuka. (Jobber)








