PLTN dan Narasi Gacor: Antara Ambisi Teknologi dan Kenyataan Pulau Kecil

Oleh: Bangdoi Ahada

OPINI — Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di negeri ini kini semakin gacor. Para pendukungnya berlomba menyalakan mikrofon optimisme: menyebut nuklir sebagai energi masa depan, energi bersih, dan simbol kemajuan. Namun seperti ayam jantan yang berkokok sebelum matahari terbit, suara “gacor” itu sering kali lebih nyaring daripada manfaatnya—apalagi bila disandingkan dengan risiko yang menyertainya.

Di permukaan, PLTN memang terdengar megah, terutama bila dihiasi jargon seperti thorium, reaktor generasi IV, aman seribu persen, atau zero carbon. Presentasi demi presentasi digelar dengan slide penuh kilau teknologi. Namun di balik gemerlap itu, ada suara lirih dari kampung pesisir, dari nelayan, dari petani, yang tak pernah masuk ruang diskusi resmi. Suara-suara yang tak mampu “gacor” di media, padahal merekalah yang akan pertama kali merasakan dampak pembangunan PLTN—baik risiko maupun ketidakpastian yang mengikutinya.

Ironisnya, kita hidup di zaman ketika kata gacor identik dengan performa terbaik. Burung gacor dianggap berkualitas, konten kreator gacor berarti lagi viral, pejabat gacor identik dengan banyak bicara. Kini, pendukung PLTN pun ikut-ikutan gacor. Tetapi kita sering lupa bahwa suara yang paling keras bukan berarti paling benar. Yang lantang belum tentu yang paling masuk akal.

Teknologi nuklir memang canggih. Tetapi kecanggihan tidak otomatis cocok untuk semua wilayah, apalagi Bangka Belitung yang berada di kawasan rawan gempa, kaya laut, dan didominasi wilayah pulau kecil. Manajemen limbah radioaktif saja belum pernah dibuktikan tuntas di Indonesia. Tidak ada tempat penyimpanan abadi, tidak ada sistem mitigasi berbasis pulau kecil, bahkan simulasi kebocoran pun tak pernah dibuka ke publik.

PLTN mungkin bisa membuat listrik menyala terang, tetapi tidak otomatis membuat kebijakan menjadi lebih benderang. Apalagi jika yang gacor hanyalah narasi optimisme, bukan akal sehat pengelolanya. Yang berpotensi “meledak” bukan reaktornya, tapi kepercayaan publik terhadap negara.

Karena itu sebelum pemerintah semakin gacor mempromosikan nuklir di podium, ada baiknya menyalakan dulu “reaktor logika”. Apakah Indonesia benar-benar membutuhkan PLTN sebagai solusi energi jangka panjang? Ataukah ini sekadar panggung agar terlihat modern dan maju?

Jika jawabannya yang kedua, maka suara “PLTN Gacor” itu sebetulnya alarm bahaya. Bukan bahaya radiasi, tetapi bahaya kebijakan yang dipenuhi omong kosong — lebih banyak retorika daripada data, lebih banyak mimpi daripada mitigasi.

Pada akhirnya, polemik PLTN bukan hanya soal teknologi. Ia menyangkut sesuatu yang jauh lebih mendasar:

kesiapan ruang hidup masyarakat pesisir,

keadilan lingkungan dan generasi masa depan,

keselamatan wilayah pulau kecil,

integritas kebijakan publik,

serta kualitas tata kelola negara dalam mengelola risiko tinggi.

Dampak negatif terbesarnya jelas: rakyat menanggung risiko, sementara keuntungan, proyek besar, dan panggung politis justru dinikmati segelintir elite. Bila demikian arahnya, maka wajar bila publik bertanya—apakah PLTN ini dibangun demi masa depan energi, atau demi masa depan karier para penikmat proyek?

Sebab dalam isu nuklir, yang paling berbahaya bukan radiasi. Tetapi kebijakan yang “gacor” tanpa nalar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *