Opini | Tunjangan Rumah DPR dan Jam Tangan Miliaran: Cermin Ketidakpekaan di Tengah Kemiskinan

Oplus_0

Oleh: Rifqi Abdul Hakim

 

Pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, yang menyebut tunjangan rumah Rp50 juta per bulan masih masuk akal, memantik perdebatan publik. Dalam salah satu kesempatan, Adies berargumen bahwa biaya hidup di Jakarta tinggi, bahkan jika dihitung, angka Rp50 juta per bulan masih wajar.

Namun, publik segera membandingkan pernyataan itu dengan potret Adies di berbagai acara. Di media sosial, beredar foto-fotonya mengenakan jam tangan mewah bernilai total Rp1,5 miliar:

Rolex Sky-Dweller Yellow Gold Oysterflex Ref. 336238 – Rp751 juta

Audemars Piguet Royal Oak Offshore Ref. 26170ST.OO.D101CR.03 – Rp424,9 juta

Rolex Oyster Perpetual 41mm Dial Kuning – Rp325 juta

Kombinasi antara ucapan dan simbol kemewahan inilah yang memperkuat kesan ketidakpekaan sosial seorang pejabat publik.

Rakyat Hidup dengan Rp3 Juta per Bulan

Kontras itu makin terasa ketika data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 menunjukkan bahwa 23,85 juta warga Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Persentasenya memang menurun menjadi 8,47%, tetapi garis kemiskinan nasional hanya Rp609 ribu per kapita per bulan.

Jika satu keluarga terdiri dari lima orang, maka kebutuhan minimal mereka setara Rp3 juta per bulan. Bandingkan dengan tunjangan rumah anggota DPR yang diperdebatkan: Rp50 juta per bulan—setara dengan 16 kali pengeluaran minimum keluarga miskin Indonesia.

Perbandingan dengan Negara Lain

Dalam studi perbandingan, tunjangan legislator di negara lain lebih berorientasi pada kebutuhan kerja, bukan gaya hidup:

Singapura: Anggota Parlemen mendapat gaji sekitar Rp180 juta/bulan, tetapi tanpa tunjangan rumah mewah.

Australia: Anggota parlemen bisa mengklaim biaya penginapan di Canberra, rata-rata Rp3,5 juta per malam, sesuai kebutuhan sidang.

Jerman: Anggota Bundestag menerima tunjangan operasional Rp83 juta per bulan, tapi penggunaannya diawasi dan tidak dikaitkan dengan kemewahan pribadi.

Sementara di Indonesia, dengan gaji pokok Rp4,2 juta dan total penghasilan anggota DPR Rp60–70 juta per bulan, ditambah tunjangan rumah Rp50 juta, angka itu tampak berlebihan jika dibandingkan kondisi sosial-ekonomi rakyat.

Simbol Ketidakadilan

Potret jam tangan miliaran rupiah yang melekat pada seorang pejabat publik memperburuk persepsi. Bagi rakyat yang sehari-hari menghadapi kenaikan harga pangan, beban pajak, dan keterbatasan akses pekerjaan, argumen tentang perlunya tunjangan puluhan juta terasa seperti ejekan.

Di titik inilah, ketidakadilan simbolik terjadi: bukan hanya soal jumlah uang negara yang dipakai, tetapi juga sinyal bahwa para elite hidup dalam dunia yang berbeda dengan rakyat yang mereka wakili.

Pertama, transparansi. DPR RI harus menjelaskan secara rinci dasar penghitungan tunjangan rumah dan kaitannya dengan kebutuhan kerja, bukan sekadar mengutip angka.

Kedua, pengetatan standar etika publik. Legislator sebaiknya berhati-hati dalam menampilkan gaya hidup mewah, karena setiap simbol kemewahan bisa menimbulkan luka sosial.

Ketiga, orientasi pada keadilan sosial. Dalam kondisi jutaan rakyat masih miskin, setiap rupiah uang negara harus digunakan secara hati-hati, efisien, dan proporsional.

Tunjangan rumah Rp50 juta per bulan mungkin dapat dibenarkan menurut aturan birokrasi. Namun ketika dibarengi dengan jam tangan miliaran rupiah di tangan pejabat publik, legitimasi moralnya runtuh.

Bukan soal siapa yang berhak memakai jam tangan mahal, melainkan apakah wakil rakyat benar-benar hadir dan peka terhadap penderitaan rakyat. Sebab di balik angka Rp50 juta itu, ada 23 juta rakyat yang bahkan tak mampu hidup layak dengan Rp3 juta sebulan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *