Opini Oleh: Bangdoi Ahada
Isu rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Bangka Belitung, yang dinarasikan berkapasitas 250 megawatt (MW), menguatkan satu pertanyaan besar yang terus berputar di kepala publik.
Apa sebenarnya agenda utama di balik proyek ini? Sebab, di atas kertas, banyak hal yang tidak masuk akal.
1. Kapasitas Kecil yang Tidak Ekonomis: Sinyal Proyek “Uji Coba”?
PLTN dengan kapasitas 250 MW bukan hanya kecil—tetapi tidak lazim untuk proyek energi nuklir yang membutuhkan investasi raksasa, teknologi tinggi, dan mitigasi risiko berlapis.
Industri energi global tahu betul: jika sebuah PLTN tidak berada di kisaran ribuan megawatt, maka ia jarang dianggap ekonomis.
Di Bangka Belitung, kondisi listrik saat ini surplus 30%. Lalu, untuk apa menambah 250 MW lagi?
Jika untuk kebutuhan Jawa atau Sumatera, maka butuh jaringan transmisi bawah laut yang biayanya sangat besar dan pembangunannya memakan waktu panjang.
Bahkan jika proyek ini selesai, balik modalnya bisa mencapai 80–100 tahun, sesuatu yang bertentangan dengan logika bisnis maupun standar investasi energi.
Dari titik ini saja, publik pantas curiga. Mengapa kapasitas sekecil ini diperjuangkan begitu ngotot?
Salah satu kemungkinannya, PLTN ini bukan proyek energi, melainkan proyek kedok.
2. Dugaan Agenda Terselubung: Meloloskan Ekspor Thorium dan Mineral Tanah Jarang
Bangka Belitung memiliki cadangan thorium, uranium, dan mineral tanah jarang (rare earth elements) yang termasuk paling strategis di Asia. Nilai ekonominya luar biasa, terutama untuk teknologi nuklir, chip, baterai militer, dan industri pertahanan.
Dugaan terbesar yang muncul dari masyarakat adalah skenario ini:
1. PLTN diumumkan di Bangka Belitung sebagai proyek jangka panjang 5–6 tahun.
2. Sementara proyek belum dimulai, pihak pengusung meminta izin untuk mengirimkan bahan baku thorium/uranium ke luar negeri, dengan alasan akan diolah menjadi bahan bakar PLTN.
3. Pengiriman dilakukan ke Amerika atau negara lain yang memang membutuhkan pasokan thorium.
4. Pada akhirnya, proyek PLTN mungkin tidak akan pernah selesai atau dihentikan dengan alasan teknis, namun mineral strategis sudah terlanjur berpindah tangan ke Amerika atau negara lain yang sekarang memang sudah mengincar SDA Babel ini.
Narasinya sederhana, tetapi mekanismenya halus, yakni gunakan PLTN sebagai tameng untuk mengekstraksi mineral bernilai tinggi keluar dari Bangka Belitung.
Jika benar demikian, ini bukan sekadar proyek energi, tetapi skenario geopolitik tingkat tinggi.
3. Ketiadaan Status Proyek Strategis Nasional: Meragukan Legitimasi
Hingga kini, tidak ada dokumen pemerintah yang menyatakan bahwa PLTN Bangka Belitung adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), Program prioritas Kementerian ESDM, atau Agenda transisi energi resmi Indonesia.
Tidak terlihat keterlibatan pejabat tinggi negara atau kementerian terkait saat delegasi asing datang untuk pembahasan PLTN.
Semuanya muncul sebagai inisiatif swasta yang “mandiri”.
Pertanyaannya: Kalau ini benar proyek nasional, kemana negara?
Kalau ini bukan proyek strategis negara, mengapa investor asing begitu agresif?
Kekosongan negara dalam isu sebesar ini jelas menimbulkan tanda tanya besar.
4. Jika Gagal, Siapa yang Menanggung Risiko?
Ada pernyataan ekstrem yang muncul dalam diskusi masyarakat, jika proyek uji coba PLTN ini gagal, maka yang terdampak “hanya 2 juta warga Bangka Belitung”.
Logika seperti ini bukan hanya berbahaya, tetapi menunjukkan bahwa sebagian kelompok melihat masyarakat Bangka Belitung sebagai material risiko, bukan manusia yang harus dilindungi.
Jika benar PLTN ini hanya proyek uji coba, maka Bangka Belitung bukan dipilih karena kebutuhan energi, tetapi karena dianggap “cukup kecil” untuk menanggung risiko teknologi.
Ini bentuk kolonialisme modern, dimana risikonya ditanggung daerah, keuntungannya lari ke luar negeri.
5. Mengapa Bangka Belitung? Jawabannya karena di sini ada mineral strategis
Dari semua pola yang muncul, benang merahnya mengarah ke satu hal:
Bangka Belitung memiliki salah satu cadangan thorium dan mineral tanah jarang terbaik di Indonesia.
Dalam persaingan teknologi nuklir dan militer global, thorium adalah komoditas masa depan. Cina memiliki banyak. Amerika—sebagaimana disebut dalam rumor yang beredar—tidak memiliki cadangan memadai.
Siapa yang punya? Indonesia. Dan salah satu sumbernya: Bangka Belitung.
Jika negara besar mengincar pasokan ini, maka skenario PLTN sebagai kedok menjadi masuk akal.
Mereka menggunakan kaki tangan orang Indonesia bahkan orang daerah Babel dalam membangun isu energi bersih sebagai narasi, menggiring opini bahwa Bangka Belitung “membutuhkan PLTN”, kemudian meloloskan regulasi ekspor mineral strategis.
Setelah bahan baku keluar, proyek PLTN bisa dihentikan kapan saja dengan alasan teknis atau kondisi investasi.
Kesimpulan: Masyarakat Berhak Curiga, Negara Wajib Transparan
Dari ketidakmasukakalan kapasitas PLTN, ketidakhadiran negara, hingga potensi ekstraksi mineral strategis, semua unsur ini mengarah pada satu kebutuhan mendesak: transparansi total.
Bangka Belitung bukan laboratorium hidup.
Warganya bukan kelinci percobaan.
Dan tanahnya bukan gudang gratis untuk negara lain.
Jika benar proyek PLTN ini hanya kedok untuk mengalirkan mineral strategis ke luar negeri, maka itu bukan sekadar penyesatan publik—melainkan ancaman terhadap kedaulatan energi, geopolitik, dan keselamatan warga.
Bangka Belitung layak mendapatkan jawaban.
Bukan janji. Bukan jargon.
Jawaban yang terbuka, resmi, dan dapat diverifikasi.
Dan hingga jawaban itu muncul, kewaspadaan publik adalah satu-satunya benteng bagi masyarakat Negeri Serumpun Sebalai. (Jobber)








