Mengapa Masyarakat Bangka Belitung Harus Menolak Pembangunan PLTN di Pulau Gelasa

Oleh: Bangdoi Ahada

BANGKA BELITUNG — Pulau Gelasa mungkin hanya sepetak kecil di peta Kepulauan Bangka Belitung. Selama ini ia lebih dikenal para nelayan dan peneliti kelautan—tempat lautnya jernih, arusnya tenang, dan pasirnya putih bersih di bawah naungan pohon kelapa.

Namun ketenangan itu kini terusik. Pemerintah berencana menjadikan Pulau Gelasa sebagai lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berbasis torium. Sebuah rencana yang di atas kertas tampak menjanjikan, namun di hati warga menimbulkan kecemasan.

“Kami bukan menolak kemajuan, tapi menolak dijadikan kelinci percobaan,” kata seorang warga pesisir yang rumahnya berhadapan langsung dengan Pulau Gelasa.

Di Balik Janji “Energi Bersih”

Pemerintah pusat dan lembaga riset nuklir mempromosikan torium sebagai sumber energi masa depan: bersih, efisien, dan aman. Narasinya menggugah: Indonesia akan menjadi pelopor PLTN torium di Asia Tenggara.

Namun slogan “energi bersih” menyembunyikan sisi gelap yang jarang dibicarakan. Torium memang lebih stabil daripada uranium, tetapi tetap menghasilkan limbah radioaktif berumur panjang.

Pulau kecil seperti Gelasa tidak memiliki kapasitas ekologi maupun infrastruktur mitigasi bencana yang memadai untuk menanggung risiko sekecil apa pun.

Pulau Gelasa berada di zona rawan abrasi dan gempa rendah-menengah. Berdasarkan peta geologi, kawasan ini terbentuk dari endapan sedimen muda—tanah yang mudah bergeser. Mendirikan reaktor nuklir di wilayah semacam itu sama saja menaruh bom waktu di atas pasir.

Selain itu, perairan Gelasa merupakan jalur utama nelayan dan transportasi antar-pulau. Sekecil apa pun kebocoran limbah radioaktif, rantai makanan laut dan ekonomi pesisir Bangka Belitung akan terkena dampak langsung.

Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Ironisnya, proyek ini bukan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi lokal. Data PLN menunjukkan Bangka Belitung mengalami surplus daya hingga 30 persen dari kebutuhan rata-rata.

Maka pertanyaannya: untuk siapa listrik dari PLTN itu?

Bukan tidak mungkin proyek ini lebih menguntungkan industri besar, sementara risiko bencananya ditanggung oleh masyarakat pesisir. Sosialisasi pun minim. Warga hanya mendengar dari media, tanpa ada petugas resmi datang menjelaskan secara langsung.

Bagi sebagian warga, tragedi Fukushima 2011 masih menjadi peringatan pahit. Jepang, negara dengan teknologi maju sekalipun, gagal mengendalikan reaktor nuklirnya saat tsunami melanda.

Bagaimana dengan Indonesia—yang sampai kini masih kesulitan mengelola limbah tambang timah dan sampah plastik? Jika limbah timah saja tak tertangani, bagaimana dengan limbah nuklir?

Faktanya, Indonesia belum memiliki regulasi maupun sistem penyimpanan limbah nuklir jangka panjang yang terbukti aman.

Kajian BATAN memang menyebut PLTN torium bisa dibangun di pulau terpencil. Tapi banyak ahli kelautan menilai konsep itu problematis.

Pulau kecil tidak memiliki sistem evakuasi massal, rumah sakit berfasilitas radiasi, atau akses cepat ke daratan utama. Bila terjadi gangguan, Gelasa tidak punya jalur keluar. Dampaknya bisa meluas melalui laut dan udara ke Bangka dan Belitung.

Kini, komunitas nelayan, pemuda, dan masyarakat sipil mulai menyuarakan penolakan. Mereka mendesak pemerintah provinsi dan DPRD Babel untuk menyatakan sikap menolak proyek tersebut.

“Kami bukan anti-sains. Kami hanya ingin hak kami untuk hidup di lingkungan yang aman dan lestari dihormati,” ujar seorang aktivis muda di Sungailiat.

Sejumlah kajian menunjukkan banyak pilihan energi terbarukan yang lebih aman dan realistis untuk Bangka Belitung: energi surya, angin pesisir, dan biomassa kelapa sawit.

Dengan investasi transparan dan partisipasi publik, Babel bisa menjadi model energi hijau berbasis kearifan lokal—bukan laboratorium nuklir di tepi laut yang berisiko menghancurkan kehidupan warganya.

Pulau Gelasa mungkin kecil, tapi maknanya besar. Ia menjadi simbol bahwa kemajuan tidak harus dibayar dengan ancaman.

Menolak PLTN bukan berarti menolak masa depan, melainkan memilih masa depan yang aman, lestari, dan manusiawi — masa depan di mana laut tetap biru, tanah tetap subur, dan anak cucu kita bisa hidup tanpa bayang-bayang radiasi.

“Menolak PLTN bukan berarti menolak masa depan — tapi memilih masa depan yang tetap aman, lestari, dan manusiawi.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *