Maulana (kiri)
Suaranusantara.online
KABUPATEN BOGOR – Masyarakat Cisarua berontak lantaran tidak dijadikan pihak prioriras dalam pembahasan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk 20 tahun ke depan wilayah Cisarua (Puncak).
Perlawanan itu mencuat ketika aktivis lingkungan, budayawan dan petani di Cisarua bernama Maulana memaparkan protes keras terhadap aturan yang dianggap tidak adil atau tidak sesuai dengan keinginan masyarakat Cisarua, pada kegiatan diskusi publik 2, di Lorin Hotel, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (27/10/2025).
Ia berharap masyarakat Puncak menjadi priotitas dalam pembahasan kebijakan tata ruang di wilayahnya, namun alih-alih tidak diundang.
“Dalam konteks yang DLH berikan itu tidak mengundang secara menyeluruh warga Cisarua,” ujarnya kepada suaranusantara.online
Pada diskusi tersebut dirinya mempertanyakan, kenapa berbicara tentang Cisarua dibahasnya di Sentul. Bukan di Cisarua dan tidak mengundang seluruh stakeholder Cisarua seluruh lapisan masyarakat dari berbagai latar belakang agar ada pencerahan. Bahkan pada diskusi publik yang pertama ia juga tidak mengetahui pelaksanaannya di mana.
Menurutnya jika orang-orang yang tinggal di Cisarua dilibatkan pasti lebih paham tentang permasalahan dan kebutuhan di daerahnya.
Ia menambahkan, jika membahas urusan Cisarua di Cisarua sendiri akan bisa lebih efektif dan relevan.
“Jadi urusan Cisarua dibahas oleh orang-orang di Cisarua, karena kami yang setiap hari di sana menangani permasalahan-permasalahannya,” tambahnya lagi.
Lebih lanjut Maulana mengatakan, bahwa ini sepertinya ada ketidakseimbangan, karena warga Cisarua hanya dilibatkan dalam penanganan sampah.
Mungkin, kata dia, perlu ada evaluasi dan peninjauan kembali untuk memastikan partisipasi warga Cisarua lebih luas dan inklusif.
“Lalu tadi ada poin juga saya kutip dari tenaga ahli. Dari sekian banyak materi, warga Cisarua hanya dilibatkan dalam pengentesan sampah. Kok kami hanya bagian sampah saja. Kenapa tidak dilibatkan secara satu bagian tubuh dari mulai awal projek dan keberlangsunganya. Kok kami tidak dilibatkan. Libatkanlah kami sebagai kearifan lokal,” ungkapnya.l
Jadi, jelas Maulana, orang Puncak itu tidak dari orang Sunda saja. Misalnya ada orang Batak, orang Ambon dan lainnya yang sudah berdomisili dan KTP Cisarua itu adakah orang Cisarua. Mereka harus dilibatkan semua.
“Sebetulnya, tidak ada yang salah, hanya memang mungkin perlu garis integral tentang budaya. Di puncak ada tokoh Batak, kita libatkan budaya Batak bagian mengelolaan alam di sana, ada orang Ambon kita libatkan mengelola alam di sana. Orang Sunda sudah jelas tuan rumah di sini. Jadi kearifan lokal itu adalah kehidupan bersahaja kehidupan sehari-hari mengkelola alam dari urusan Tuhan, manusia dan alam. Tidak boleh bicara rasis urusan begini. Tidak boleh bicara pendatang atau pribumi. Semuanya terlibat, bicara alam itu. Karena musibah itu milik bersama. Bukan milik perorangan nantinya. Jadi kearifan lokal itu luas,” ujarnya.
Kearifan lokal itu, kata dia, bukan hanya bicara budaya, tapi terkait segala macam misal mengelola alam, merawat alam, menjaga tanah, merawat bumi menjaga tempat ibadah, masjid, dan gereja. Iitu juga semua sama kearifan lokal, jadi harus dijaga semua.
Warga Cisarua, jelas Maulana, ingin kebijakan yang dibuat benar-benar relevan dan efektif di lapangan, bukan hanya teori saja. Mereka butuh aksi nyata yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
“Jadi sekali lagi, dipublikasikan secara umum, bahwa Cisarua mengkritik semua kebijakan tentang Cisarua dibahas buat orang Cisarua, dan kami butuh sesuatu yang real di lapangan. Tidak hanya teori saja,” pintanya.
Ia berharap juga ke depan Puncak tolong dimonitor dan semua program-programnya harus diketahui oleh masyarakat dan menjadi konsumsi media pers, agar menjadi wawasan untuk masyarakat, khususnya untuk orang-orang Puncak.
Ia juga menjelaskan, kebijakan Pemda itu seharusnya melalui tahapan komunikasi dengan para Kades terlebih dahulu. Lalu masyarakat dibawa seperti apa kehendak dan keinginannya. Bukan sebaliknya, tiba-tiba dimunculkan oleh Pemda, tanpa kami diajak untuk diskusi dan menyampaikan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
“Tanpa kami diajak untuk diskusi dan menyampaikan apa sih yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan,” tutupnya.
(mardioto)








