Suaranusantara.online
LANGKAT – Pesta Demokrasi Pilkada serentak pada 27 November 2024 seharusnya menjadi momen istimewa bagi seluruh lapisan masyarakat.
Di sinilah suara warga, tanpa memandang suku, agama, atau pekerjaan, menjadi penentu masa depan daerah tercinta.
Sesuai Peraturan KPU No. 7 Tahun 2024 Pasal 4, setiap warga yang memenuhi syarat memiliki hak untuk memilih.
Namun, di tengah harapan akan pemilihan yang demokratis dan adil, banyak pertanyaan kritis yang muncul terkait kesiapan KPU Langkat.
Dua jargon utama saat ini menggema di tengah masyarakat: “Memilih yang terbaik dari yang terbaik” dan “Menghindari yang terburuk berkuasa.” Kedua aspirasi ini sama-sama penting: satu demi keberlanjutan, yang lain demi perubahan.
Namun, keberhasilan Pilkada sangat bergantung pada profesionalisme dan netralitas KPU, yang diberi anggaran besar mencapai Rp126 miliar untuk menjalankan tugasnya.
Tanda tanya besar muncul terkait efektivitas sosialisasi Pilkada oleh KPU Langkat.
Logo dan jingle Pilkada yang sempat dirancang melalui sayembara dengan anggaran signifikan, justru jarang terlihat dan tidak terdengar.
Sebagai seniman dan penggiat sosial, Irwan Syah (40) penduduk Stabat, Kab. Langkat melihat hal ini sebagai upaya yang kurang efektif—bagaikan kegiatan mubazir karena logo dan jingle hampir tak berfungsi sebagai media kampanye yang kuat untuk menyukseskan Pilkada 2024.
Media sosial KPU Langkat juga mengecewakan. Platform seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan Twitter yang seharusnya menjadi sarana sosialisasi efektif justru minim aktivitas.
Interaksi dengan masyarakat sangat terbatas, tak ada respons ketika publik melontarkan pertanyaan, dan jumlah pengikutnya juga rendah.
Pemilih Berkurang 5.955 di Pilkada 2024.
Perbedaan antara Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 juga menimbulkan kecurigaan.
Pada Pemilu 2024, jumlah pemilih tercatat 787.481, namun pada Pilkada 2024 turun menjadi 781.526, berkurang sebanyak 5.955 pemilih.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah angka kematian sangat tinggi, atau telah terjadi eksodus massal di Langkat? Penurunan ini seharusnya menjadi perhatian serius, karena mestinya DPT meningkat dengan bonus demografi yang ada.
Selain itu, ketegasan KPU Langkat dalam menindak pelanggaran kampanye juga dipertanyakan.
Banyak baliho dan spanduk calon yang dipasang di area-area netral dibiarkan begitu saja tanpa tindakan tegas.
Netralitas dan ketegasan KPU adalah kunci agar Pilkada berjalan adil.
Keputusan KPU Langkat untuk mengadakan Debat Kandidat di luar wilayah Langkat pun mengundang kritik.
Pertanyaannya: apakah kekurangan sarana atau alasan keamanan menjadi kendala? Atau mungkinkah KPU Langkat meragukan kemampuan sumber daya lokal?
Memindahkan lokasi debat ke luar daerah tentu menambah anggaran, padahal debat bisa saja dilaksanakan di Stabat.
Keterlibatan sumber daya lokal semestinya menjadi prioritas demi transparansi dan penghematan.
Masih banyak pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh KPU Langkat. Dan, seruan terakhir untuk KPU Langkat, sesuai judul opini ini adalah:
“KPU, Bekerjalah dengan Tegas!”
Jagalah kepercayaan masyarakat Langkat! Pilkada yang adil tidak akan terwujud tanpa ketegasan dan netralitas dari penyelenggara pemilu.
(ema)