Suaranusantara.online
SUMENEP, JAWA TIMUR – Diam yang mencurigakan. Itulah respons Kepala Bagian Perekonomian dan SDA Kabupaten Sumenep, Dadang Dedy Iskandar, S.H., M.H., ketika dimintai klarifikasi soal nilai kontrak Participating Interest (PI) 10% tahun 2023. Padahal, dana yang seharusnya jadi berkah ekonomi daerah ini justru kini berselimut kabut tebal, tanpa transparansi, tanpa pertanggungjawaban.
Pertanyaan mendasar terus menggantung: Berapa sebenarnya nilai PI 10% dari kontrak kerjasama migas Provinsi Jatim dengan BUMD Sumenep?, Kenapa pejabat yang seharusnya bertanggung jawab malah tutup mulut rapat-rapat?
Menteri ESDM lewat Permen Nomor 1 Tahun 2025 yang diundangkan 6 Januari lalu sebenarnya membuka peluang emas. Pemerintah daerah penghasil migas seperti Sumenep berhak mendapat PI 10% dari wilayah kerja minyak dan gas bumi. Ini bukan uang receh, potensinya bisa miliaran rupiah yang mampu mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan membiayai pembangunan.
Mekanismenya jelas: kontraktor wajib menawarkan PI 10% kepada BUMD. BUMD penerima harus membentuk anak perusahaan untuk mengelola dana tersebut secara profesional dan transparan.
Di atas kertas, semua terlihat rapi. Tapi di Sumenep? Cerita lain. Dokumen ada, transparansi nihil
Tim media telah mengantongi bukti: Surat Perjanjian Kerjasama Nomor KSB 415.4/17-KSB/435.011.3/XI/2023 tertanggal 22 November 2023 antara Pemprov Jatim dan Pemkab Sumenep. Isinya: penerimaan dan pengelolaan PI 10% pada wilayah kerja migas Sepanjang dan Pagerungan Utara.
Surat konfirmasi resmi sudah dikirim ke Kabag Perekonomian Dadang Dedy Iskandar dan PT WUS salah satu BUMD Kabupaten Sumenep. Pertanyaannya sederhana: Berapa nilai PI 10% yang diterima tahun 2023? Bagaimana mekanisme pencairannya? Kemana uang rakyat itu mengalir?
Jawabannya? Nol besar. Tidak ada tanggapan. Tidak ada klarifikasi. Yang ada hanya keheningan yang makin menimbulkan kecurigaan.
Inilah ironi tragis Sumenep. Dana PI 10% yang dirancang untuk memperkuat fondasi ekonomi daerah justru dikelola tanpa akuntabilitas. Tanpa transparansi, potensi penyalahgunaan dan tata kelola buruk mengintai di setiap sudut.
Publik bertanya: apakah ini karena ketidakmampuan birokrasi? Ataukah memang ada sesuatu yang sengaja disembunyikan? Mengapa pejabat yang digaji dari uang rakyat malah enggan menjawab pertanyaan rakyat?
Dana migas bukan harta karun pribadi. Ini adalah hak publik yang harus dikelola secara terbuka, dipertanggungjawabkan dengan jelas, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Sumenep.
Kini bola ada di tangan Dadang Dedy Iskandar dan jajaran pengurus BUMD. Pilihan mereka sederhana:
Pertama, buka semua data dan laporan pengelolaan PI 10%. Tunjukkan bahwa tidak ada yang disembunyikan. Buktikan bahwa dana rakyat dikelola dengan bersih.
Kedua, terus bungkam dan biarkan publik menarik kesimpulan sendiri tentang apa yang sesungguhnya terjadi di balik tirai.
Sumenep tidak butuh pejabat yang pandai bersembunyi di balik meja. Yang dibutuhkan adalah pemimpin berani, transparan, dan bertanggung jawab. Jika tidak mampu, lebih baik mundur dan biarkan orang yang lebih pantas mengambil alih.
Rakyat Sumenep berhak tahu. Dan rakyat tidak akan diam selamanya.
Kami tetap membuka ruang klarifikasi bagi pihak-pihak terkait. Transparansi adalah hak publik, bukan pilihan.
(GUSNO)








