PANGKALPINANG — Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Harwendro Adityo Dewanto, menegaskan pentingnya hilirisasi industri timah serta pembangunan pusat riset timah di Bangka Belitung sebagai langkah strategis untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional sekaligus mendorong nilai tambah sumber daya alam daerah.
Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam Forum Bisnis pada Rapat Kerja Daerah (Rakerda) BPD HIPMI Kepulauan Bangka Belitung periode 2025–2028 bertema “Dari Bangka Belitung, Kita Berdaya untuk Indonesia”, dengan subtema “Mengoptimalkan Peran Investasi dan Hilirisasi.”
“Bangka Belitung ini dianugerahi sumber daya alam yang luar biasa. Tapi kita harus menjaga agar potensi timah tidak diselundupkan keluar negeri. Semua harus dikelola untuk kemakmuran bangsa,” kata Harwendro.
Ia menyebut, berdasarkan data AETI, cadangan timah Indonesia masih bisa bertahan antara 25 hingga 30 tahun ke depan, namun bisa lebih panjang jika dilakukan eksplorasi baru di wilayah potensial. Karena itu, menurutnya, pembangunan pusat riset timah terbesar di dunia di Bangka Belitung menjadi kebutuhan mendesak.
Foto: Harwendro Adityo Dewanto saat jadi pembicara di Forum Bisnis Rapat Kerja Daerah (Rakerda) BPD HIPMI Kepulauan Bangka Belitung periode 2025–2028 di Gedung Mahligai Serumpun Sebalai Pangkalpinag, 18 Oktober 2025.
“Selama ini Indonesia produsen timah nomor dua dunia, tapi belum punya pusat riset sendiri. Tahun depan kami targetkan groundbreaking pusat riset timah di Babel bersama Universitas Bangka Belitung,” ungkapnya.
Harwendro juga mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan telah menjadi isu serius nasional, dengan nilai kerugian mencapai Rp271 triliun. Ia menegaskan, pelaku usaha harus berhati-hati dan patuh hukum agar tidak terseret persoalan lingkungan.
“Sekarang bukan hanya korupsi yang bisa menjerat pengusaha, tapi juga kasus kerusakan lingkungan. Jadi kita semua harus lebih hati-hati dan memastikan usaha berjalan sesuai regulasi,” ujarnya.
Dalam paparannya, Harwendro menyebutkan Indonesia masih menjadi produsen timah kedua terbesar di dunia, sementara Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi penyumbang utama produksi nasional. Ia optimistis, bila industri timah dikelola secara benar, Babel dapat berkontribusi besar terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kalau sektor lada bisa bangkit lagi dan hilirisasi timah berjalan, ekonomi Babel bisa mendekati pertumbuhan 8 persen. Saat ini saja sudah di kisaran 5 persen, dan hampir 90 persen didorong sektor tambang,” jelasnya.
Lebih jauh, ia mendorong pelaku usaha smelter agar menjalankan program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan, bukan sekadar bantuan sesaat.
“Jangan hanya bagi-bagi sembako. Buat program yang punya dampak jangka panjang, supaya masyarakat ikut tumbuh bersama industri,” tegasnya.
Harwendro menambahkan, hilirisasi timah dalam negeri perlu dipercepat agar Indonesia tak lagi hanya mengekspor bahan mentah. Ia juga mengusulkan agar pemerintah segera menyiapkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Timah di Bangka Belitung, guna memudahkan investasi dan arus alat produksi.
“Selama ini, produk-produk hilir justru dibuat di Batam karena Babel belum punya KEK khusus timah. Kalau KEK itu ada di sini, semua bisa dilakukan di daerah sendiri,” kata dia.
Menutup paparannya, Harwendro mengajak pengusaha muda Bangka Belitung untuk menjaga sumber daya alam negeri.
“Jangan khawatir, timah Indonesia tetap nomor satu di dunia. Tapi kita harus menjaganya agar manfaatnya dirasakan oleh rakyat Indonesia sendiri. Mari mulai dari kita, dengan niat membangun Babel dan Indonesia,” pungkasnya.








