Jika Hutan dan Bukit Terus Diperkosa, Waspadalah..!

Oleh: Bangdoi Ahada

OPINI — Hujan di awal Desember 2025 turun sebagaimana biasanya—seperti pagi-pagi lain yang rutin membasahi negeri khatulistiwa.

Namun di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, curah hujan yang sama berubah menjadi malapetaka.

Ribuan rumah luluh diterjang air bah, tanah longsor melumat harapan, dan ratusan ribu saudara setanah air terperangkap dalam duka yang tak terperi.

Di layar televisi dan ponsel kita, wajah-wajah basah itu menatap.

Bukan hanya basah oleh air, tetapi oleh kehilangan.

Kehilangan sanak, harta, dan ketenangan.

Dan jika kita jujur, itu adalah duka yang bisa saja menjadi milik kita suatu hari nanti.

Dalam peta besar Indonesia, tak satu pun daerah kebal dari bencana.

Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok—tetapi giliran itu menanti bagi wilayah yang telah lama tidak bersahabat dengan alam.

Bencana Bukan Hanya Soal Alam, Tapi Soal Ulah Manusia

Kita diajarkan bahwa alam bekerja sesuai ketetapan Ilahi.

Namun pengalaman mengajarkan pula bahwa sebagian bencana bukan semata murka alam, tetapi jeritan bumi yang terlalu lama dieksploitasi oleh segelintir manusia serakah.

Di banyak daerah—termasuk Aceh, Sumbar, dan Sumut—perut gunung telah dikorek, kaki bukit digerogoti, dan rimba tua yang seharusnya menjadi pagar air ditebangi demi mengejar keuntungan.

Pohon-pohon yang selama ratusan tahun mengikat tanah kini tinggal tunggul.

Maka ketika hujan turun deras, tanah yang kehilangan pegangan pasrah menyerah—meluncur bersama jutaan meter kubik lumpur dan gelondongan kayu yang dirampas tanpa nurani.

Di hilir, masyarakat kecil menjadi korban.

Mereka yang tak pernah memegang bulldozer, tak pernah meneken izin tebang, dan tak pernah terlibat dalam meja transaksi tambang.

Merekalah yang merana, sementara para perusak hutan tak tersentuh basah.

Para Tuan Cukong Itu Tidak Basah oleh Banjir

Ketika air bah mengejar kampung dan desa, muncul pertanyaan getir:

Di mana para cukong itu? Di mana bos kebun sawit dan pemodal tambang yang merobek hulu sungai?

Jawabannya pahit tetapi jelas—mereka aman.

Mungkin sedang menikmati secangkir kopi hangat sambil menonton liputan bencana.

Baju mereka tidak basah, kaki mereka tidak berlumpur, dan anak-anak mereka tidak menangis ketakutan.

Mereka dilindungi uang, jaringan, dan jalur pelarian.

Bangka Belitung: Belum, Bukan Tidak

Lalu bagaimana dengan Bangka Belitung?

Apakah kita aman?

Jawabannya jujur saja: tidak. Kita hanya belum terkena giliran.

Babel sedang antre menunggu bencana itu datang.

Tanda-tandanya sudah lengkap.

Dari Nadi, Lubuk, hingga Sarang Ikan; dari Bangka hingga Belitung; dari pesisir hingga pedalaman.

Bukit-bukit digunduli, hutan dirobek, DAS dicabik, dan sungai tak lagi mengalir dengan normal.

Lubang-lubang tambang ilegal menganga seperti borok yang dibiarkan.

Tanah kehilangan daya cengkeram, sungai kehilangan daya tampung, sementara pemerintah kehilangan daya paksa untuk menertibkan tambang liar dan kebun sawit ilegal.

Kita sedang hidup dalam jeda, bukan keselamatan.

Dalam penundaan, bukan perlindungan.

Waktunya Pemda dan APH Bekerja, Bukan Menunggu

Saudara-saudara kita di Aceh, Sumut, dan Sumbar tidak pernah membayangkan pagi itu akan berubah menjadi petaka.

Begitu pula Babel—jika pemerintah masih berasumsi waktu berpihak pada mereka.

Gubernur dan para bupati harus turun langsung.

Lihatlah bukit-bukit yang botak, DAS yang menyempit, dan desa-desa hilir yang sudah berada di zona bahaya.

Jangan hanya mengandalkan laporan yang dipoles.

Rasakan tanah dengan telapak kaki sendiri.

Aparat penegak hukum pun harus berhenti bermain mata.

Tegaslah pada pelaku besar, bukan hanya menutup mata pada cukong sambil menindak penambang kecil.

Hukum yang timpang bukan hanya memalukan—tetapi mematikan.

Bencana Sedang Mengantre—Dan Antrian Itu Bergerak Cepat

Jika hutan terus diperkosa, bukit ditelanjangi, dan sungai dipaksa menanggung beban yang melampaui kemampuannya, maka kita sebenarnya sedang mengirim undangan kepada bencana.

Dan ketika bencana itu datang, tidak ada lagi kata andaikan.

Tidak ada lagi kata seharusnya.

Yang tersisa hanyalah penyesalan.

Bangka Belitung masih punya waktu.

Tetapi waktu itu semakin pendek.

Untuk pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat yang masih berdiam—

SEKARANG adalah saatnya.

Bukan esok.

Bukan nanti.

Sebab air bah tidak menunggu kita siap.

Ia akan datang saat kita lengah—dan ketika alam telah terlalu kecewa untuk memberi peringatan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *