Jejak Rekomendasi Fiktif dan Kambing Hitam PLN Kasus Hibah Rp 1 Miliar Dinas Perikanan Sumenep

Azis Munandar, S. Sos., M. A. P., (Kanan) dengan Tim Media (Kiri). (Foto: Dok)

Suaranusantara.online

Bacaan Lainnya

SUMENEP, JAWA TIMUR – Sebuah drama birokrasi penuh intrik terungkap di balik dugaan penyimpangan dana hibah Rp 1,05 miliar untuk Kelompok Pengolah dan Pemasar Hasil Perikanan (Poklahsar X) di Kepulauan Kangean.

Yang mencengangkan, nama pejabat Inspektorat Daerah justru terseret dalam pusaran kontroversi sebagai pihak yang diduga menjadi “biang kerok” persoalan, sementara PLN dijadikan kambing hitam atas kelalaian sistemik birokrasi.

Investigasi mendalam mengungkap fakta mengejutkan: Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perikanan Sumenep, Heru Faizal, secara eksplisit menyebut nama Asis Munandar, S.Sos., M.A.P., Inspektur Pembantu III Inspektorat Daerah, sebagai pihak yang diajak berkoordinasi terkait perpindahan lokasi Poklahsar X. Namun, plot twist dramatis terjadi ketika pejabat pengawas itu justru membantah keras pernah terlibat.

Dalam wawancara dengan tim media, Heru Faizal dengan percaya diri menyatakan telah berkoordinasi dengan pejabat Inspektorat.

“Listriknya tidak memadai, mas. Itu faktor penyebab pindah lokasi Poklahsar X. Saya sudah koordinasi dengan Pak Asis dari Inspektorat,” ungkapnya, Senin (24/11/2025).

Pernyataan bombastis ini seharusnya menjadi bukti adanya pengawasan ketat dari lembaga internal pemerintah. Namun, ketika dikonfirmasi langsung, Asis Munandar justru melempar bola panas dengan nada misterius:

“Saya masih mau menanyakan pada yang bersangkutan, apa dia pernah menyampaikan ke saya atau saya yang lupa. Tapi seingat saya, tidak pernah memberikan rekomendasi atau saran apapun,” tegasnya, Senin (01/12/2025).

Bantahan ini memunculkan spekulasi menggelisahkan: jika benar Asis Munandar memberikan rekomendasi atau saran terkait perpindahan lokasi tanpa verifikasi mendalam, maka pejabat pengawas internal inilah yang patut diduga sebagai biang kerok sistemik gagalnya tata kelola bantuan pemerintah.

Sebaliknya, jika ia tidak pernah dilibatkan, mengapa namanya dengan mudah disebut sebagai pihak yang berkoordinasi? Apakah ini upaya mengalihkan tanggung jawab dengan mencatut nama pejabat Inspektorat?

Yang lebih mencurigakan, dalih “listrik tidak memadai” tiba-tiba menjadi pembenaran tunggal atas kegagalan program senilai miliaran rupiah. PLN, sebagai BUMN penyedia listrik, seolah dituduh sebagai penyebab utama perpindahan lokasi Poklahsar X.

Namun tunggu dulu—bukankah verifikasi ketersediaan infrastruktur listrik seharusnya menjadi kewajiban mutlak Dinas Perikanan sebelum menetapkan lokasi penerima bantuan? Mengapa koordinasi dengan PLN tidak dilakukan sejak tahap perencanaan? Atau jangan-jangan, koordinasi itu memang tidak pernah ada?

Inilah celah sistemik yang mengkhawatirkan: birokrasi dengan mudah melempar kesalahan kepada pihak eksternal, dalam hal ini PLN, tanpa mengakui kelalaian internal dalam tahap verifikasi persyaratan teknis. Sebuah modus operandi klasik: cari kambing hitam, tutup jejak kelalaian.

Investigasi tim media mengungkap fakta mencengangkan: Poklahsar X baru berdiri awal 2024, dan pada akhir tahun yang sama lokasi usahanya sudah pindah.

Pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin sebuah kelompok tanpa track record usaha memadai bisa lolos verifikasi dan mendapat hibah ratusan juta rupiah?

Jawabannya sederhana namun mengerikan: verifikasi persyaratan administrasi dan teknis sepertinya hanya formalitas belaka. Tim verifikasi, jika memang ada, tampak tidak pernah turun ke lapangan untuk memastikan kelayakan lokasi, ketersediaan infrastruktur pendukung, dan kapasitas riil penerima bantuan.

“Inilah celah fatal yang kami temukan. Ini bukan soal listrik, ini soal kelalaian sistemik dalam tata kelola bantuan pemerintah. Ketika prosedur diabaikan, pintu korupsi terbuka lebar,” tegas Pimpinan Redaksi salah satu media, Minggu (23/11/2025).

Kasus ini bukan sekadar dugaan penyimpangan dana. Ini adalah cerminan buram wajah demokrasi pemerintahan daerah yang patut dipertanyakan.

Ketika lembaga pengawas internal seperti Inspektorat yang seharusnya menjadi garda terdepan pencegahan korupsi, justru namanya terseret dalam kontroversi koordinasi yang diragukan, siapa lagi yang bisa dipercaya?

Ketika Dinas Perikanan dengan mudah mengabaikan prosedur standar verifikasi, lalu menutupinya dengan dalih teknis yang meragukan, di mana letak akuntabilitas publik?

Ketika perpindahan lokasi usaha terjadi dalam tahun yang sama dengan pencairan dana tanpa pertanggungjawaban jelas tentang nasib aset dan mesin pendingin senilai ratusan juta yang seharusnya dipasang – di mana transparansi penggunaan uang rakyat?

Tim media merumuskan sederet pertanyaan menohok yang harus dijawab para pihak:

Untuk Asis Munandar, Inspektur Pembantu III: Benarkah Anda pernah memberikan rekomendasi atau saran terkait perpindahan lokasi Poklahsar X? Jika ya, mengapa tidak ada dokumentasi resmi? Jika tidak, mengapa diam saja ketika nama Anda disebut sebagai pihak yang berkoordinasi? Bukankah ini indikasi penyalahgunaan wewenang atau minimal kelalaian pengawasan?

Untuk Heru Faizal, Kabid Pengolahan dan Pemasaran: Dokumen koordinasi dengan Inspektorat mana yang Anda maksud? Mengapa verifikasi ketersediaan listrik tidak dilakukan sebelum pencairan dana? Siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian fatal ini? Dan yang terpenting, di mana aset senilai miliaran rupiah itu sekarang?

Untuk Dinas Perikanan Sumenep: Di mana tim verifikasi Anda saat menyetujui hibah untuk kelompok yang baru berdiri? Mengapa Poklahsar X yang tidak memiliki track record bisa lolos seleksi? Apakah ada kriteria objektif, atau hanya sekadar proyek formalitas belaka?

Untuk PLN: Apakah Dinas Perikanan pernah mengajukan permohonan resmi untuk penambahan daya di lokasi Poklahsar X? Jika tidak, bukankah ini bukti bahwa koordinasi antar – instansi tidak pernah terjadi?

Masyarakat Kabupaten Sumenep kini menanti gerak cepat KPK dan BPKP Provinsi Jawa Timur. Kasus ini bukan sekadar dugaan korupsi biasa, ini adalah potret sistemik lemahnya tata kelola pemerintahan daerah.

“Kami tidak akan berhenti sampai seluruh fakta terungkap. Jika pejabat Inspektorat terbukti terlibat, ini akan menjadi preseden buruk bahwa pengawas internal justru menjadi bagian dari masalah. Jika PLN dijadikan kambing hitam, maka arogansi birokrasi telah melampaui batas,” ujar Pimpinan Redaksi media tersebut.

Kepercayaan publik terhadap demokrasi lokal kini dipertaruhkan. Dana yang seharusnya memberdayakan nelayan pesisir justru menguap tanpa jejak manfaat. Mesin pendingin yang dijanjikan tak kunjung beroperasi.

Lokasi usaha berpindah-pindah tanpa penjelasan memuaskan. Dan yang paling ironis, pejabat saling lempar tanggung jawab sementara uang rakyar hilang entah ke mana.

Akankah kasus ini berakhir terang benderang dengan pelaku dihukum, atau akan tenggelam dalam kegelapan birokratis seperti ribuan kasus serupa di negeri ini? Jawabannya ada di tangan KPK, BPKP, dan tekad publik untuk tidak membiarkan korupsi kembali menang.

Media ini membuka ruang hak jawab bagi Asis Munandar, Heru Faizal, dan seluruh pihak yang disebutkan untuk memberikan klarifikasi, bukti dokumentasi, atau penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

(GUSNO)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *