Jejak Panjang Peradaban Tionghoa dalam Sejarah Pertambangan Timah di Bangka Belitung

PANGKALPINANG — Bangka Belitung tidak hanya dikenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia, tetapi juga memiliki jejak peradaban Tionghoa yang panjang dan beragam. Sejak abad ke-18, kedatangan komunitas Tionghoa untuk bekerja sebagai penambang timah telah meninggalkan warisan budaya yang masih terasa hingga kini.

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung, Dato Akhmad Elvian DPMP, mengungkapkan bahwa kedatangan penambang Tionghoa ke Bangka Belitung bermula pada 1722. Saat itu, Sultan Ratu Anom Komaruddin menandatangani kontrak dagang timah dengan VOC, yang mengharuskannya meningkatkan produksi timah hingga 30 ribu pikul per tahun.

“Untuk memenuhi target produksi tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin I Jayowikromo pada 1724 mendatangkan pekerja tambang dari Tionghoa, termasuk dari Vietnam, Laos, Kamboja, Pattani, Johor, dan Semenanjung Malaka,” kata Elvian.

Selain untuk menambah tenaga kerja, kedatangan pekerja Tionghoa juga bertujuan memperkenalkan teknologi baru dalam dunia pertambangan. Salah satunya adalah teknologi kulit dan kulong kulit, yang digunakan untuk membuka lapisan tanah sebelum mencapai cadangan timah. “Proses ini memakan waktu cukup lama, sekitar tujuh hingga delapan bulan, sehingga para pekerja Tionghoa menetap di sekitar lokasi tambang,” ujarnya.

Seiring waktu, peran komunitas Tionghoa di Bangka Belitung terus berlanjut bahkan setelah era VOC berakhir. PT Timah, sebagai perusahaan tambang yang menjadi penerus dari BTW, GMB, NV. SITEM, hingga PN Timah, tetap mempertahankan tradisi ini. Mereka mempekerjakan orang Tionghoa Bangka maupun peranakan dalam operasional tambang, khususnya sebagai Kepala Parit (parittew), posisi yang memerlukan keahlian khusus dalam mengelola aliran penambangan.

Elvian menambahkan, keahlian orang Tionghoa Bangka juga berperan penting dalam industri turunan timah, seperti pewter (kerajinan berbahan dasar timah). “Akulturasi dan asimilasi budaya Tionghoa dengan masyarakat bumiputera Bangka melahirkan komunitas peranakan yang turut berkontribusi dalam berbagai aktivitas perusahaan, termasuk program CSR PT Timah, meski tidak selalu berkaitan langsung dengan pertambangan,” jelasnya.

Dalam konteks sosial dan budaya, Elvian berharap PT Timah terus berperan aktif menjaga keharmonisan antar-SARA di Bangka Belitung. “Ke depan, saya berharap ada lebih banyak program yang menyentuh langsung aspek ekonomi, keagamaan, sosial, dan kebudayaan, sehingga hubungan antarmasyarakat tetap terjalin erat,” tuturnya.

Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, turut mengakui peran penting etnis Tionghoa dalam sejarah pertambangan timah di Bangka Belitung. Menurutnya, hubungan tersebut sudah terjalin erat sejak masa awal eksplorasi timah di wilayah ini.

“Dulu masyarakat Tionghoa didatangkan untuk bekerja di sektor pertimahan. Meski kini tidak semua dari mereka terlibat langsung di industri tambang, nilai historisnya tetap kuat dan menjadi bagian penting dari sejarah daerah ini,” ujar politisi yang akrab disapa BPJ tersebut.

Ia menegaskan, hingga saat ini industri pertambangan timah masih menjadi tulang punggung perekonomian Bangka Belitung, dan warisan budaya Tionghoa turut mewarnai perjalanan sejarah tersebut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *