Suaranusantara.online
SUMENEP – Sebuah ironi tragis menguak kebohongan janji pemerataan listrik pemerintah. Di tengah gempita program Listrik Desa (Lisdes) PT PLN (Persero) yang mengklaim menjangkau seluruh pelosok negeri, seorang warga tunanetra di Pulau Sapangkur, Desa Sabuntan, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur masih terjebak dalam kegelapan total.
Realitas pahit ini menampilkan wajah asli implementasi instruksi Presiden di lapangan. Warga disabilitas tak mampu membayar biaya pemasangan listrik tenaga surya sebesar kurang lebih Rp 2 juta, jumlah yang menjadi penghalang mutlak antara kehidupan dalam kegelapan dan terang.
Desa Sabuntan, yang masuk kategori wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), seharusnya menjadi prioritas utama program pemerataan akses listrik. Namun kenyataannya, instruksi presiden dan regulasi Perusahaan Listrik Negara (PLN) seolah mentah di hadapan hambatan finansial yang menjulang.
Secercah harapan sempat menyala ketika anak dari warga tunanetra menghadap langsug kepada Kepala Desa Sabuntan. Dalam percakapan yang penuh harap, ia memohon:
“Pak Kades, tolong yang orang tua saya juga disambungkan, walaupun masih tidak ada biayanya nanti saya yang akan bayar jika sudah tersambung,” ujarnya kepada media ini melalui sambungan telepon Whatsapp, Minggu, 01/06/2025
Kepala desa sebelumnya menyanggupi namun, janji tinggal janji. Pemerintah Desa Sabuntan dilaporkan menolak dengan alasan klasik, belum ada pembayaran di muka. Hingga hari ini, rumah warga disabilitas tersebut tetap gelap gulita, seolah terlupakan oleh negara.
Padahal PLN memiliki program khusus diskon biaya sambung baru untuk masyarakat tidak mampu di wilayah 3T.
Program Lisdes dirancang khusus untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah terpencil terutama warga disabilitas seharusnya mendapat prioritas khusus dalam program pemerataan ini.
Publik mempertanyakan mengapa instruksi presiden mandek di tingkat desa, bagaimana mungkin warga disabilitas di wilayah 3T terabaikan, di mana peran pengawasan pemerintah pusat?
Kasus Pulau Sapangkur ini bukan sekadar cerita sedih, namun ini adalah bukti telanjang kegagalan sistemik pemerintah dalam mewujudkan keadilan energi. Program yang gembar-gembor di tingkat pusat ternyata kandas di implementasi lapangan.
Suatu fakta realitas yang menyakitkan, satu warga disabilitas melawan birokrasi yang tak peduli, lantas bagaimana instruksi presiden vs tembok biaya Rp 2 juta, janji pemerataan di diskriminasi ekonomi.
Publik meminta pemerintah untuk segera melakukan rekomendasi urgent: Audit mendalam program Lisdes di seluruh wilayah 3T, beri sanksi tegas bagi pihak yang mengabaikan instruksi presiden dan bagaimana mekanisme khusus untuk warga disabilitas yang tidak mampu serta transparansi penuh dalam implementasi program pemerataan listrik
Pemerataan akses listrik bukan lagi soal infrastruktur, ini soal kemanusiaan dan keadilan. Ketika seorang warga disabilitas di pulau terpencil masih hidup dalam kegelapan, sementara pemerintah berbangga dengan program-program gemilang di atas kertas, maka ada yang salah dalam sistem ini.
Masyarakat meminta pemerintah pusat dan PT. PLN harus segera bertindak tegas, tidak ada lagi alasan untuk membiarkan anak bangsa terpinggirkan hanya karena keterbatasan ekonomi.
Kegelapan di Pulau Sapangkur adalah cerminan gelap implementasi janji-janji politik yang tak pernah sampai ke rakyat yang paling membutuhkan.
Sampai berita ini diterbitkan masih belum ada keterangan dari yang berwenang. Tim redaksi media Suara Nusantara akan terus memantau perkembangan kasus ini dan menuntut pertanggungjawaban pihak terkait.
(GUSNO)