Suaranusantara.online
SUMENEP – Api kemarahan masyarakat Desa Saur Saebus kembali menyala, bahkan lebih membara dari sebelumnya. Setelah aksi penyegelan kantor balai desa, kini sorotan tajam warga tertuju pada skandal dana Sistem Informasi Geografis dan Manajemen Objek Pajak (SISMIOB). Pungutan liar yang mencapai Rp 400 ribu hingga Rp 1,5 juta per bidang tanah, ditambah janji manis program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang tak kunjung terwujud, telah memicu gelombang protes dan rasa tertipu yang mendalam.
“Kami ditipu, harkat martabat kami diinjak-injak!” teriak salah seorang demonstran, Rabu (28/05/2025).
Rasa ditipu dan dihinakan tak bisa lagi dibendung oleh warga Desa Saur Saebus. Demi membayar dana SISMIOB ini, banyak dari mereka yang terpaksa menjual harta benda berharga, mulai dari anting, kalung istri, hingga sapi.
“Kami, pak, dari masyarakat melihat sendiri itu kebanyakan kalung istrinya yang masih dipakai dijual untuk membayar tanah atau program itu. Makanya, kami katakan dalam hal ini harus secepatnya diproses!” teriak seorang warga lantang di hadapan pejabat Kantor Kecamatan Sapeken dan anggota Polsek Sapeken
Aparat keamanan yang hadir pun tak luput dari seruan keadilan.
“Mohon pak polisi, keadilan harus ditegakkan! Kami minta secara hormat, sudah keterlaluan kami ditipu, sudah keterlaluan kami dihina, tentang harkat dan martabat kami,” seru demonstran lainnya.
Ia bahkan mempertanyakan nilai-nilai Pancasila.
“Di mana Pancasila? Ketuhanan Yang Maha Esa yang pertama, kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, di mana letak keadilan itu, pak?” imbuhnya.
Bagi masyarakat Saur Saebus, yang sebagian besar adalah nelayan tangguh, mengumpulkan uang bukan perkara mudah.
“Kasihan, mancing sampai sejauh berapa mil, ombak badai dan angin semua kami hadapi, untuk membayar tanah ini, pak,” tutur warga lainnya dengan suara bergetar menahan emosi. Ini bukan sekadar uang, ini adalah tetesan keringat dan darah dari perjuangan hidup mereka di lautan lepas.
Kekecewaan warga semakin memuncak ketika janji manis pemerintah desa untuk melanjutkan program SISMIOB ke dalam program PTSL ternyata hanya omong kosong belaka. Hingga detik ini, masih banyak masyarakat yang belum menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).
Puncaknya, ada warga yang menelan pil pahit ketika hasil pengukuran atau peta blok tanah dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumenep, Provinsi Jawa Timur ditolak mentah-mentah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep saat mengajukan sertifikat mandiri.
Parahnya lagi, para demonstran mengungkap adanya ancaman dari pihak desa.
“Dari pemerintah desa mengatakan kepada masyarakat, kalau kalian tidak membayar tanah kalian saya ambil!” ungkap salah seorang demonstran, mengindikasikan tekanan serius yang dihadapi warga.
Di tengah badai protes ini, mantan Kepala Desa Saur Saebus, Saleh, justru membantah semua tudingan.
Saat ditemui di kediamannya pada Kamis (29/5/2025), Saleh bersikukuh, bahwa program SISMIOB sudah melalui “kesepakatan bersama” dan dimusyawarahkan sejak 2018.
Musyawarah Desa (Musdes) itu, klaim Saleh, dihadiri oleh Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Sekretaris Desa, tokoh masyarakat, hingga perwakilan Kecamatan Sapeken dan Muspika.
Saleh juga menegaskan, bahwa mereka yang tidak menerima SPPT adalah karena belum melakukan pembayaran. Namun, pernyataan Saleh ini berbanding terbalik 180 derajat dengan kenyataan di lapangan dan keluhan pedih masyarakat yang mengaku sudah membayar namun tak kunjung mendapatkan kejelasan, bahkan terancam kehilangan hak atas tanah mereka.
Bola panas kini berada di tangan aparat penegak hukum. Masyarakat Saur Saebus menuntut keadilan segera ditegakkan dan mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas dugaan penipuan serta penyalahgunaan dana SISMIOB ini.
Amarah yang membara di Saur Saebus bukan sekadar letupan sesaat, melainkan cerminan dari rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa dan janji-janji pembangunan yang kini hanya tinggal bualan kosong.
Apakah kasus ini akan menjadi preseden bagi penegakan hukum terhadap oknum-oknum yang menyalahgunakan kepercayaan rakyat? Kita tunggu saja.
(GUSNO)