(Opini)
Oleh: Saifuddin
05 Oktober 2024
BABEL, Suaranusnatara.online
Babel dan Tantangan Pilkada 2024
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang akrab disebut “Serumpun Sebalai,” terdiri dari lima kabupaten dan satu kota, dengan ibu kota di Pangkalpinang. Usia provinsi ini masih terbilang muda, baru sekitar 24 tahun, sebanding dengan Provinsi Banten dan Kepulauan Riau. Sejak berdirinya, Bangka Belitung telah dipimpin oleh empat gubernur, sebuah pencapaian yang menggambarkan dinamika demokrasi di provinsi ini.
Meski usianya muda, proses demokrasi dan pembangunan peradaban di Bangka Belitung tidak boleh diabaikan. Pilkada serentak 2024 yang akan digelar di 545 daerah, termasuk 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, menjadi momentum penting, termasuk Pilgub Bangka Belitung. Tantangan terbesar yang menghadang para calon gubernur adalah pemulihan ekonomi pasca gonjang-ganjing tata niaga timah—isu yang diprediksi menjadi perbincangan hangat di panggung politik lokal.
Isu tata niaga timah bisa menjadi senjata politik yang digunakan dengan dua cara: pertama, sebagai alat untuk menyerang lawan politik melalui opini negatif (political decay), dan kedua, sebagai titik awal kampanye, dengan menawarkan solusi untuk menata ulang sektor tersebut guna memperbaiki ekonomi masyarakat. Mengingat timah adalah sektor ekonomi utama di Bangka Belitung, hal ini menjadi sangat relevan.
Konstelasi Politik di Babel: Mencermati Koalisi Nasional dan Lokal
Pilkada Bangka Belitung kali ini diperkirakan akan sangat menarik. Jika melihat hasil Pilpres kemarin, kita bisa memetakan tiga koalisi besar: Koalisi Perubahan (Nasdem, PKS, PKB), Koalisi Keberlanjutan (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat), dan Koalisi PDIP bersama Hanura dan PPP. Pertanyaan besarnya, apakah komposisi koalisi ini akan diterapkan di tingkat lokal?
Dalam konteks politik Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh David Easton dalam The Political System, tidak ada koalisi permanen dalam demokrasi yang sedang bertransisi. Hal ini juga berlaku di Bangka Belitung. Koalisi di tingkat nasional belum tentu diterapkan di daerah, karena dinamika politik lokal sering kali bergantung pada kekuatan tawar-menawar dan posisi para aktor politik.
Menariknya, di Bangka Belitung, ada potensi duel politik antara dua tokoh besar: Erzaldi Rosman, mantan gubernur sekaligus Ketua DPD Gerindra Bangka Belitung, dan Hidayat Arsani, mantan wakil gubernur dari Partai Golkar. Jika keduanya bertarung, koalisi nasional bisa jadi tidak akan berlaku, mengingat mereka memiliki kekuatan politik masing-masing yang cukup signifikan di daerah.
Erzaldi: Modal Politik dan Sosial yang Kuat
Baik Erzaldi maupun Hidayat Arsani memiliki modal politik yang kuat. Sebagai petahana dari periode 2017-2022, Erzaldi masih segar dalam ingatan masyarakat. Prestasinya selama pandemi, ketika ia mendapat pengakuan dari pemerintah pusat bersama Anies Baswedan dan Khofifah Indar Parawansa, bisa menjadi nilai tambah. Tak hanya itu, kemenangan Prabowo-Gibran di Bangka Belitung pada Pilpres 2024 memberikan dorongan kuat bagi Erzaldi untuk kembali ke panggung politik.
Selain itu, keberhasilan istrinya, Melati Erzaldi, yang terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Gerindra, memperkuat basis sosial dan politik Erzaldi di Bangka Belitung. Gerindra, partai yang menaunginya, menjadi modal penting bagi Erzaldi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat melalui proses demokrasi.
Dengan dukungan sosial yang kuat dan pengalaman politik yang matang, Erzaldi dipandang sebagai figur yang mampu melanjutkan pembangunan di Bangka Belitung. Ini adalah panggilan rakyat bagi dirinya, sebagai pemimpin yang siap mengabdikan diri untuk kemajuan masyarakat “Serumpun Sebalai.”
Penulis: Saifuddin (Direktur Eksekutif LKiS)
Penulis buku: Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-an Demokrasi
(T-APPI)