Oleh: Ferry
Editor: Bangdoi Ahada
BANGKA TENGAH, — Pulau Gelasa, sebuah pulau kecil di Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, mendadak menjadi episentrum perdebatan energi nasional.
Bukan karena tambang timah atau pariwisata, melainkan karena rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) oleh PT Thorcon Power Indonesia.
Sebuah ambisi proyek energi nuklir yang digadang-gadang sebagai solusi energi bersih masa depan.
Namun di balik jargon “energi hijau” dan “teknologi canggih”, kegelisahan justru tumbuh di tingkat tapak.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Bangka Tengah mulai bersuara lantang, menuding proyek strategis ini berjalan dalam sunyi sosialisasi.
Forum Laskar Bangka Belitung (Forlabb Babel) menjadi salah satu organisasi yang paling vokal.
Bagi mereka, persoalan utama bukan sekadar setuju atau menolak, melainkan hak publik atas informasi.
“Kami tidak menolak mentah-mentah semua investasi yang masuk ke Bangka Tengah. Tapi ini soal nuklir, harus ada kajian dan informasi yang lengkap, mendalam, dan terbuka,” ujar Eka Putra, Ketua Forlabb Bateng, Senin (15/12/2025) di Koba.
Forlabb dikenal aktif mengkaji isu energi bersih, lingkungan, hingga dampak sosial-ekonomi kebijakan strategis.
Eka menyebut, sejak awal pihaknya terus mengikuti perkembangan kebijakan energi nasional dan rencana PT Thorcon di Pulau Gelasa. Namun yang mereka temukan justru minim dialog publik.
Masuk Daerah Sebelum Izin Tapak?
Kegeraman Forlabb memuncak ketika mengetahui aktivitas PT Thorcon telah masuk ke wilayah Bangka Tengah, sementara proses persetujuan izin tapak dari Bapeten disebut belum tuntas.
“Jujur, kami geram. Thorcon sangat kurang menyampaikan tahapan apa yang sedang dan sudah mereka kerjakan. Bahkan sudah masuk ke daerah kami, padahal sebelumnya belum mendapat persetujuan tapak dari Bapeten,” tegas Eka.
Pernyataan ini menjadi sorotan penting. Dalam proyek nuklir, izin tapak dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) merupakan tahap krusial yang menentukan kelayakan lokasi dari aspek keselamatan, lingkungan, dan sosial.
Jika benar aktivitas telah berjalan sebelum izin tapak final, maka muncul pertanyaan serius: sejauh mana pengawasan negara berjalan?
Tak hanya PT Thorcon yang dikritik. Forlabb juga menyoroti sikap pemerintah daerah, DPRD, hingga Bapeten yang dinilai belum cukup terbuka kepada masyarakat.
“Kami harap Pemda, DPRD, dan Bapeten juga terbuka. Sejauh mana tahapan yang sudah dilaksanakan, apa hasil kajian-kajian PT Thorcon di Pulau Gelasa—itu hak publik untuk tahu,” ujar Eka.
Dalam konteks Bangka Belitung yang memiliki sejarah panjang konflik sumber daya alam, ketertutupan informasi sering kali berujung pada krisis kepercayaan.
Masyarakat belajar dari pengalaman bahwa proyek besar yang minim partisipasi publik kerap menyisakan masalah lingkungan dan sosial di kemudian hari.
Energi Bersih, Tapi Prosesnya Kok Keruh?
PLTT berbahan bakar thorium kerap dipromosikan sebagai teknologi nuklir yang lebih aman dan ramah lingkungan.
Namun bagi masyarakat di sekitar lokasi, klaim teknologi tinggi tidak otomatis menghapus kekhawatiran.
Tanpa sosialisasi berkelanjutan, tanpa penjelasan terbuka tentang risiko, manfaat, dan mitigasi dampak, istilah “energi bersih” justru terasa elitis, dan jauh dari realitas warga pesisir yang akan hidup berdampingan dengan fasilitas tersebut.
“Kami akan terus melakukan gerakan-gerakan jika tidak mendapat informasi secara lengkap,” tegas Eka, menandai bahwa resistensi publik bisa semakin menguat jika ruang dialog terus ditutup.
Apa yang terjadi di Bangka Tengah bisa menjadi alarm dini bagi pemerintah pusat dan investor. Proyek strategis nasional, terlebih yang menyentuh isu sensitif seperti nuklir, tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan teknokratis dan perizinan administratif.
Tanpa transparansi, tanpa pelibatan publik yang bermakna, dan tanpa komunikasi yang jujur sejak awal, proyek sebesar apa pun berisiko kehilangan legitimasi sosialnya.
Pulau Gelasa hari ini bukan hanya soal lokasi PLTT. Ia telah menjelma menjadi cermin: sejauh mana negara dan investor benar-benar menghormati hak masyarakat untuk tahu, memahami, dan menentukan masa depan ruang hidupnya sendiri. (Jobber)








