Heru Faizal (kanan)
Suaranusantara.online
SUMENEP, JAWA TIMUR – Dugaan penyimpangan dana hibah senilai Rp 1,05 miliar untuk Kelompok Pengolah dan Pemasar Hasil Perikanan (Poklahsar X) di Kepulauan Kangean mencuat ke permukaan, menyeret Dinas Perikanan Kabupaten Sumenep dalam pusaran kontroversi.
Tim media mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Timur untuk segera melakukan penyelidikan menyeluruh.
Yang mencengangkan, hasil investigasi media menemukan fakta, bahwa Poklahsar X baru berdiri di awal 2024, namun di akhir tahun yang sama lokasi usahanya telah berpindah ke kecamatan lain, meski masih dalam wilayah Kabupaten Sumenep.
Pertanyaan krusial pun mengemuka: bagaimana mungkin kelompok yang baru beroperasi beberapa bulan langsung mendapat hibah ratusan juta rupiah tanpa verifikasi ketat?
Investigasi tim media mengungkap lemahnya sistem verifikasi yang menjadi pintu masuk potensi penyimpangan. Dinas Perikanan Kabupaten Sumenep diduga mengabaikan prosedur standar verifikasi persyaratan administrasi dan teknis yang seharusnya menjadi prasyarat mutlak sebelum hibah dicairkan.
“Inilah celah fatal yang kami temukan. Bagaimana bisa sebuah kelompok yang baru berdiri beberapa bulan mendapat dana hibah miliaran rupiah tanpa kajian kelayakan mendalam? Ini bukan soal listrik, ini soal kelalaian sistemik dalam tata kelola bantuan pemerintah,” tegas Pimpinan Redaksi salah satu media, Minggu (23/11/2025).
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perikanan Sumenep, Heru Faizal, mengklaim perpindahan lokasi Poklahsar X disebabkan ketiadaan pasokan listrik yang memadai untuk mengoperasikan mesin pendingin ikan.
Asis Munandar, S.Sos., M.A.P. (kanan) dan tim media (kiri)
Dalam pembelaannya, Faizal bahkan menyebut telah berkoordinasi dengan Inspektur Pembantu III Inspektorat Daerah, Asis Munandar, S.Sos., M.A.P.
“Listriknya tidak memadai, mas. Itu faktor penyebab pindah lokasi Poklahsar X. Jadi belum terlaksananya pemasangan mesin pendingin. Penyampaian ini berdasarkan surat keterangan pindah lokasi yang ditandatangani Ketua Poklahsar X. Saya sudah koordinasi dengan Pak Asis dari Inspektorat,” ungkap Faizal, Senin (24/11/2025).
Namun dalih ini justru menimbulkan pertanyaan lebih besar: mengapa verifikasi ketersediaan infrastruktur listrik tidak dilakukan sejak awal sebelum hibah dicairkan? Bukankah ini menunjukkan lemahnya tahap verifikasi persyaratan teknis yang menjadi kewajiban dinas terkait?
Twist mengejutkan terjadi ketika tim media mengonfirmasi klaim Kabid Heru Faizal kepada pihak yang disebutnya. Asis Munandar, Inspektur Pembantu III Inspektorat Daerah Kabupaten Sumenep, secara tegas membantah tidak pernah dilibatkan atau memberikan rekomendasi apapun terkait kasus ini.
“Saya masih mau menanyakan pada yang bersangkutan, apa dia pernah menyampaikan ke saya atau saya yang lupa. Tapi seingat saya, tidak pernah memberikan rekomendasi atau saran apapun,” tegasnya dengan nada tegas, Senin (01/12/2025).
Bantahan keras dari pejabat Inspektorat ini semakin memperkuat dugaan adanya upaya mengaburkan jejak pertanggungjawaban. Siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas kelalaian verifikasi ini?
Kasus ini meninggalkan sederet pertanyaan mendasar yang menuntut jawaban:
Pertama, mengapa Dinas Perikanan menyalurkan hibah kepada kelompok yang baru berdiri tanpa track record usaha yang memadai?
Kedua, di mana peran tim verifikasi saat mengecek kelayakan teknis, termasuk ketersediaan infrastruktur listrik sebelum pencairan dana?
Ketiga, mengapa perpindahan lokasi usaha terjadi di tahun yang sama setelah pencairan dana, dan bagaimana pertanggungjawaban penggunaan dana hibah tersebut?
Keempat, apakah ada koordinasi serius dengan pihak PLN atau instansi terkait sebelum menetapkan lokasi penerima bantuan?
Kelima, siapa yang sebenarnya merekomendasikan Poklahsar X sebagai penerima hibah, dan atas dasar penilaian apa?
Pimpinan Redaksi Media tersebut menegaskan komitmen untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas.
“Kami tidak akan berhenti sampai seluruh fakta terungkap. Ini bukan hanya soal uang negara yang berpotensi disalahgunakan, tapi juga kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan yang baik,” ujarnya.
Kasus ini menjadi cerminan lemahnya sistem pengawasan internal dalam penyaluran bantuan pemerintah. Ketika verifikasi administratif dan teknis diabaikan, pintu korupsi terbuka lebar. Dana yang seharusnya memberdayakan masyarakat pesisir justru berpotensi menguap tanpa jejak manfaat nyata.
Masyarakat Kabupaten Sumenep kini menanti gerak cepat KPK dan BPKP Jawa Timur. Kepercayaan terhadap birokrasi, khususnya Dinas Perikanan, kini dipertaruhkan. Akankah kasus ini berakhir terang benderang, atau akan tenggelam dalam kegelapan seperti banyak kasus serupa?
Media ini membuka ruang klarifikasi bagi semua pihak yang merasa dirugikan atau memiliki penjelasan terkait pemberitaan ini.
(GUSNO)








