Suaranusantara.online
MENJELANG hari pencoblosan Pilkada Langkat, integritas pesta demokrasi kembali tercoreng.
Muncul dugaan kuat, bahwa sejumlah kepala desa di wilayah Langkat Hulu diarahkan untuk memenangkan Pasangan Calon (Paslon) nomor urut 01, H. Syah Afandin dan Tiorita Beru Surbakti.
Dugaan ini mencuat setelah viralnya video dan foto di media sosial yang menunjukkan sejumlah kepala desa mendatangi kediaman Tiorita secara diam-diam.
Pertemuan tersebut, yang terjadi dua hari menjelang pencoblosan, tepatnya pada Senin (25/11) sekitar pukul 13.00 WIB, berlangsung di kediaman Tiorita yang berlokasi di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala.
Kehadiran para kepala desa secara tertutup ini menimbulkan spekulasi serius mengenai keterlibatan aparatur desa dalam politik praktis—sebuah tindakan yang jelas melanggar aturan netralitas.
Masyarakat mempertanyakan motif di balik pertemuan tersebut. Jika terbukti benar, ini adalah bentuk intervensi yang mencederai prinsip demokrasi dan keadilan Pilkada.
Lebih miris lagi, di tempat terpisah, istri seorang kepala desa diduga terlibat langsung dalam praktik politik uang.
Ia dilaporkan mengumpulkan KTP warga dengan janji akan memberikan sejumlah uang, asalkan warga tersebut memilih dan memenangkan Paslon nomor 01.
Parahnya, warga yang menolak atau tidak patuh diarahkan justru dipersulit untuk mengambil kembali KTP mereka.
Ini adalah bentuk intimidasi yang tidak bisa ditoleransi dalam proses demokrasi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Pilkada Langkat kali ini benar-benar berada di titik nadir moralitas.
Hampir seluruh lapisan aparatur desa dan pemerintahan, termasuk camat, lurah, dan kepala desa, diduga telah terseret dalam politik praktis.
Informasi yang beredar menyebutkan, bahwa mereka dikumpulkan di satu tempat untuk diarahkan mendukung Paslom tertentu.
Netralitas aparat desa adalah syarat mutlak bagi terciptanya Pilkada yang bersih dan demokratis.
Keterlibatan mereka dalam upaya memenangkan salah satu Paslon bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap proses Pilkada.
Aparatur negara seharusnya menjadi pengayom rakyat, bukan alat politik untuk kepentingan segelintir pihak.
Bawaslu Langkat dan pihak berwenang harus segera bertindak tegas.
Dugaan pelanggaran ini harus diusut tuntas, dan oknum yang terbukti bersalah harus diberi sanksi berat.
Jika dibiarkan, demokrasi di Langkat akan semakin ternoda, dan hasil Pilkada nanti akan kehilangan legitimasi di mata masyarakat.
Pilkada seharusnya menjadi ajang adu gagasan, bukan pertunjukan kekuasaan yang penuh intimidasi dan praktik kotor.
Rakyat Langkat berhak mendapatkan pemimpin yang lahir dari proses yang jujur dan bermartabat, bukan dari manipulasi dan kecurangan.
(eea)