Publik Pertanyakan Keamanan Proyek Nuklir di Pulau Gelasa
Editor: Ical Icul
BANGKA BELITUNG — Setelah kasus udang Indonesia yang terpapar zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137) mencuat, kini giliran satu kontainer berisi cengkih ekspor ke Amerika Serikat (AS) yang dikembalikan karena alasan serupa. Pemerintah Indonesia melalui Satuan Tugas (Satgas) Cs-137 mengonfirmasi, kontainer tersebut dijadwalkan tiba kembali di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pada awal November 2025 untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Publik Satgas Cs-137, Bara Krishna Hasibuan, mengatakan keterlambatan pengiriman membuat kontainer baru tiba pada 1 November 2025. Tim gabungan dari Bapeten, BRIN, Bea Cukai, dan instansi terkait kini bersiap melakukan pemeriksaan menyeluruh guna memastikan tingkat kontaminasi serta sumber paparan Cs-137 tersebut.
Menurut temuan Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, paparan zat radioaktif itu terdeteksi pada cengkih kiriman PT Natural Java Spice (NJS) asal Surabaya. Akibat temuan ini, FDA memblokir sementara seluruh impor rempah dari perusahaan tersebut dan mewajibkan pemeriksaan tambahan terhadap produk rempah asal Indonesia.
Kasus paparan radioaktif pada produk pangan ekspor ini menimbulkan kekhawatiran publik di dalam negeri. Di tengah maraknya isu keselamatan pangan, pemerintah justru mendorong rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Warga Bangka Belitung menilai kasus ini sebagai peringatan nyata. Jika udang dan cengkih saja bisa terpapar radioaktif tanpa adanya fasilitas nuklir aktif di Indonesia, bagaimana nasib masyarakat ketika PLTN benar-benar beroperasi di wilayah kepulauan mereka?
Bangka Belitung selama ini dikenal dengan kekayaan sumber daya hayati, mulai dari hasil laut seperti ikan, cumi, lobster, dan kepiting, hingga komoditas darat seperti lada, kelapa, sawit, cokelat, dan rempah-rempah. Kontaminasi radioaktif, sekecil apa pun, bisa menghancurkan ekosistem ekonomi sekaligus kesehatan masyarakat.
Direktur Eksekutif WALHI Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, menegaskan bahwa proyek PLTN Thorcon di Pulau Gelasa harus dihentikan karena sejak awal tidak transparan dan sarat kepentingan investor.
“Sejak awal riset dan aktivitasnya tidak terbuka. Mereka tidak menghormati ruang hidup rakyat dan ekosistem penting di Kepulauan Bangka Belitung,” kata Hafiz, dikutip dari suara.com (20/10/2025).
Hafiz menambahkan, Pulau Gelasa bukan “pulau kosong” seperti yang kerap digambarkan, melainkan benteng ekologi penting dan ruang hidup masyarakat pesisir. Ia mendesak Bapeten menolak usulan tapak PLTN Thorcon dan memastikan seluruh kajian keselamatan publik dilakukan secara terbuka, independen, dan bebas dari intervensi investor.
Penolakan ekspor karena paparan Cs-137 ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Kontaminasi radioaktif, sekecil apa pun, menunjukkan adanya celah serius dalam sistem pengawasan lingkungan dan keamanan pangan nasional.
Alih-alih menambah risiko dengan membangun PLTN di wilayah kepulauan yang rawan bencana dan berpenduduk padat pesisir, langkah yang lebih bijak ialah memperkuat energi terbarukan seperti surya, angin, dan bioenergi — yang justru lebih sesuai dengan kondisi geografis Bangka Belitung.
Sebab pada akhirnya, energi bersih sejati bukan hanya soal listrik tanpa karbon, tetapi tentang menjaga agar manusia dan alam tetap hidup berdampingan tanpa ancaman radiasi.








