Berkhayal PLTN Digantikan Kompor Thorium: Usul untuk Bos Reaktor agar Tak Kehilangan Pamor

Oleh: Bangdoi Ahada

OPINI — Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Gelasa terus diterpa gelombang penolakan warga.

Alasannya masuk akal: masyarakat takut pulau kecil mereka jadi terang bukan karena listrik, tapi karena radiasi.

Hem… daripada terus menuai protes dan penolakan, mengapa tidak kita mulai dari skala kecil saja?

Misalnya, bikin ide baru yang lebih “merakyat” — Kompor Thorium Nasional (KTN).

Logikanya sederhana: kalau nuklir besar ditolak, ya buat versi kecilnya. Karena warga masih trauma dengan kisah ledakan reaktor, mari kita ubah saja jadi kompor.

Kalau masih ditolak juga, bisa muncul varian lain — misalnya pemanggang plutonium portable atau rice cooker tenaga fusi.

Para pengagum PLTN bilang, thorium itu lebih aman dan efisien.

Tapi di negeri di mana colokan listrik saja kadang harus digetok dulu biar nyala, ide menghadirkan kompor nuklir terasa seperti memadukan teknologi tinggi dengan keberanian tinggi.

Satu sendok thorium bisa menyala seratus tahun, tapi kalau jatuh ke lantai dapur — bisa-bisa seratus tahun juga satu RT pindah tempat tinggal.

Ide ini tentu memancing tawa sekaligus geleng kepala.

Karena di negeri ini, kalau logika tak bisa diandalkan, humor adalah satu-satunya pelindung akal sehat.

“Kalau kompornya bocor, siapa yang tanggung jawab?” tanya seorang ibu rumah tangga di pesisir Bangka.

Mungkin saja Bos Reaktor menjawab, “Tenang, kita akan bentuk Satgas Kompor Thorium.”

Bayangkan: Satgas ini punya seragam khusus, helm antiradiasi, dan rapat koordinasi di dapur-dapur warga.

Semua demi memastikan nasi tetap matang tanpa meledak.

Padahal, penolakan terhadap PLTN bukan karena warga takut pada teknologi.

Mereka hanya ingin logika yang berpihak pada kenyataan: pulau kecil, sumber daya terbatas, dan sistem pengawasan yang sering mati lampu.

Menawarkan solusi energi berbasis thorium di situasi seperti ini ibarat menawarkan jet pribadi kepada nelayan yang cuma minta mesin tempel.

Kalau pemerintah sungguh ingin mandiri energi, mulailah dari hal sederhana:

benahi jaringan listrik, kembangkan energi terbarukan yang realistis, dan ajak warga berdialog — bukan bereksperimen.

Sebab energi bukan sekadar panas, melainkan juga kepercayaan.

Dan kalau semua itu terasa terlalu rumit, ya sudahlah.

Mari kita hidup sederhana saja — biar dapur tetap menyala dengan api biasa, bukan dengan sinar gamma.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *