Suaranusantara.online
SUMENEP, MADURA – Skandal penyerobotan lahan yang menggerogoti hak-hak rakyat kecil kembali terbongkar di Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur.
Setelah 52 tahun lahan milik keluarga Moh. Ishar diduga dirampas untuk dijadikan lokasi Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sapeken IV, keadilan masih menjadi barang mahal bagi pewaris sah tersebut.
Moh. Ishar, ahli waris tunggal yang merasa haknya terampas, telah melaporkan dugaan penyerobotan lahan ini melalui LSM Island Corruption Watch (ICW) pimpinan H. Daeng Moh. Sultan pada 12 Juli 2024. Namun, yang terjadi selanjutnya justru keheningan total dari Polres Sumenep, Polda Jawa Timur.
“Sudah setahun berlalu, tapi tidak ada tindakan konkret dari kepolisian. Kami mohon dengan hormat kepada Bapak Kapolres untuk segera memproses laporan LSM ICW,” desak Moh. Ishar dengan nada frustrasi, Kamis (18/7/2025).
Dugaan penyerobotan lahan ini bukan perkara sepele. Kasus ini telah berlangsung sejak tahun1973 namun tidak ada tanggapan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep maupun pemerintah daerah, menunjukkan adanya penyerobotan sistematis yang merugikan hak-hak sipil masyarakat. Selama lebih dari lima dekade, keluarga Moh. Ishar kehilangan akses terhadap tanah warisan yang sah.
Ironisnya, lahan yang diduga hasil penyerobotan ini justru digunakan untuk fasilitas pendidikan negeri.
Hal ini menciptakan dilema moral, di satu sisi ada kepentingan pendidikan anak-anak, namun di sisi lain ada hak kepemilikan yang terampas secara tidak sah.
Lambatnya penanganan kasus ini memperlihatkan ketidakpedulian sistematis aparat penegak hukum terhadap nasib rakyat kecil. Laporan yang disampaikan melalui Seksi Umum (Sium) Polres Sumenep seolah tenggelam tanpa jejak.
Publik menilai terkait laporan LSM ICW yang mewakili Moh. Ishar, sikap Polres Sumenep ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap masyarakat biasa yang tidak memiliki akses politik dan ekonomi yang kuat.
Kasus penyerobotan lahan SDN Sapeken IV ini menjadi ujian nyata bagi komitmen Polres Sumenep dalam:
1. Transparansi, memberikan informasi yang jelas tentang perkembangan kasus
2. Responsivitas, menindaklanjuti laporan masyarakat dengan cepat dan tepat
3. Keadilan, tidak membeda-bedakan penanganan berdasarkan status sosial
4. Mengapa laporan ini diabaikan selama setahun?
5. Apakah ada intervensi politik dalam penanganan kasus ini?
6. Kapan keadilan akan ditegakkan untuk Moh. Ishar?
Publik menantikan langkah konkret dari kepolisian untuk segera menindaklanjuti laporan ini dan memberikan kepastian hukum. Jika tidak, kasus ini akan menjadi preseden buruk bahwa penyerobotan lahan dapat dilegalisasi melalui kelambanan aparat penegak hukum.
Kasus ini menggambarkan problem struktural dalam penanganan sengketa agraria di Indonesia, di mana hak-hak rakyat kecil seringkali terabaikan demi kepentingan yang lebih besar. Namun, keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, termasuk dalam kasus yang melibatkan fasilitas publik seperti sekolah.
(GUSNO)








