Oleh: Bangdoi Ahada
BANGKA — Di halaman belakang rumah keluarga Hendra Saputra Djauw, menganga sebuah kolong tambang berdiameter hampir satu hektar. Airnya hijau gelap, sunyi, dan dalam—begitu kontras dengan masa lalu ketika lahan warisan keluarganya itu masih ditumbuhi hamparan kebun kelapa.
Kini, batas tebing kolong itu hanya berjarak sekitar 10 meter dari dinding rumahnya. Setiap kali hujan turun, tanah di bibir kolong perlahan merosot, membuat keluarga ini hidup dalam kecemasan. Warga setempat menyebutnya “Telaga Zholim”, nama yang dipilih Hendra sebagai bentuk protes terhadap apa yang ia sebut sebagai kelalaian dan ketidakadilan dari mitra atau rekanan PT Timah Tbk.
Empat Tahun Janji Reklamasi Tanpa Realisasi
Sejak 2021, Hendra mengaku terus berjuang mendesak PT Timah untuk melakukan reklamasi: penimbunan, penataan lahan, serta pemulihan lingkungan di eks-TK.1.719 A Kuday DU.1517. Tetapi upaya itu, menurutnya, hanya berbuah janji yang tak kunjung ditepati.
Hendra mencatat sejumlah kegagalan tindak lanjut:
Lebih dari tiga tahun berada di bawah penanganan K3LH Pusat PT Timah tanpa eksekusi, dengan jadwal reklamasi yang berulang kali dibatalkan atas alasan “change management”.
Hampir satu tahun dilempar ke Divisi Bangka Utara, tetapi tetap tanpa progres lapangan.
Surat-surat resmi yang dikirim Hendra ke Kantor PT Timah Sungailiat tidak mendapat balasan.
Kasus ini sudah disentuh Mind.ID (2022), Ombudsman RI (2023), RDP DPRD Babel (Februari 2024), hingga Kementerian ESDM (29 Oktober 2025)—tetapi reklamasi tetap belum berjalan.
“Padahal hanya satu hektar. Pejabat Kementerian ESDM bilang ini kasus kecil yang harusnya mudah diselesaikan. Lalu ada apa sebenarnya?” ujar Hendra, yang akrab disapa Akuan, sembari menatap kolong sunyi di belakang rumahnya.
Dugaan Pengambilan Material Ilegal
Persoalan ini tak hanya soal reklamasi. Hendra mengungkap dugaan aktivitas lain di lahan keluarganya: material overburden dan tailing yang menurut PT Timah akan digunakan kembali untuk penimbunan, justru diangkut keluar lokasi oleh sejumlah sopir truk dan operator alat berat.
“Aktivitas itu terjadi dari 2021 sampai 2025,” kata Hendra.
“Kami lapor, tapi PT Timah diam. Tidak ada penindakan, tidak ada klarifikasi.”
Dalam satu kejadian, Hendra mengaku dicengkeram dan dibanting oleh seorang oknum yang diduga menjadi beking pengangkutan material tersebut.
“Waktu saya tegur jangan ambil material itu, saya malah diseret dan ditekan. Ketika saya lapor ke PT Timah Sungailiat, staf hanya diam,” ujarnya.
Pada 15 November 2025, Hendra menyebut persoalan ini kemungkinan terkait dugaan praktik ilegal oleh mitra PT Timah: CV KJM / AK.
“Mungkin kami ini sudah jadi target permainan izin SPK Timah dari awal,” katanya.
Jika benar, keterlambatan reklamasi dapat menjadi puncak gunung es dari rangkaian dugaan penyalahgunaan izin operasional tambang.
Pertanyaan Besar yang Menggantung
Dari dokumen dan kronologi yang dikumpulkan, terdapat sejumlah pertanyaan yang layak diperiksa lebih jauh:
1. Mengapa reklamasi satu hektar bisa mandek empat tahun?
Regulasi jelas mengatur bahwa:
Reklamasi wajib dilakukan paling lambat 30 hari setelah kegiatan selesai.
Kegiatan tambang tidak boleh menyisakan ancaman bagi rumah warga.
2. Benarkah alasan “tidak bisa direklamasi karena luas di bawah 5 hektar”?
Hendra menyebut PT Timah pernah menyampaikan alasan ini.
Padahal UU Minerba tidak mengatur batas minimum untuk kewajiban pemulihan lahan.
3. Adakah kaitan keterlambatan reklamasi dengan dugaan pengangkutan material ilegal?
Jika material dibawa keluar, ke mana arahnya?
Siapa yang memberi izin?
Apakah ada SPK bermasalah?
4. Mengapa laporan ke Mind.ID, Ombudsman, DPRD, hingga Kementerian ESDM tidak menghasilkan tindakan nyata?
Apakah tersendat secara teknis, administratif, atau struktural?
Ancaman Nyata: Rumah di Bibir Jurang Kolong
Dalam foto dan kesaksian yang disampaikan Hendra, rumahnya kini berada di tepi tebing kolong yang terus mengalami erosi. Kondisi ini berpotensi masuk kategori:
Kerusakan ekologis akibat reklamasi tak dilakukan.
Ancaman keselamatan hunian.
Pelanggaran terhadap kaidah Good Mining Practice.
“Setiap malam, kami sering dengar suara tanah retak,” ujar Hendra.
“Kami tidur pun waswas.”
Mengadu ke Pimpinan Tertinggi PT Timah
Pada 10 November 2025, Hendra menghubungi Direktur Utama PT Timah Tbk, Restu Widiyantoro, dan Komisaris Rizani Usman untuk meminta perhatian langsung.
Suratnya berisi permohonan agar pimpinan perusahaan datang meninjau langsung Telaga Zholim.
Dirut Restu Widiyantoro membalas pesan tersebut melalui WhatsApp:
“Trimakasih atas informasinya Pak Hendra. Beberapa hari lagi saya akan di Pangkalpinang. Insya Allah kita ketemu dan membicarakan tentang hal ini. Trimakasih.”
Sebaliknya, pesan kepada Komisaris Rizani Usman belum mendapat respons.
“Kalau Pak Rizani tampaknya tidak merespon. Ya begitulah kalau kita berhadapan dengan pejabat,” kata Hendra.
Ia berencana kembali menghubungi Dirut PT Timah pada Senin, 17 November 2025.
“Semoga jeritan rakyat kecil yang sudah empat tahun menunggu reklamasi, akhirnya didengar.”
Hingga kini, menurut Hendra, belum ada tanggapan resmi PT Timah terkait alasan reklamasi belum berjalan, dugaan pengangkutan material, kemungkinan permainan SPK, serta potensi kaitan dengan aktivitas tambang ilegal oleh pihak mitra.
Potret Pola Berulang di Babel
Kasus Telaga Zholim menggambarkan pola yang kerap muncul dalam persoalan lahan eks tambang di Bangka Belitung:
Reklamasi tertunda.
Koordinasi antar divisi perusahaan tidak efektif.
Mitra tambang memicu polemik.
Pengawasan aktivitas material lemah.
Dugaan praktik ilegal muncul di ruang kosong pengawasan.
Di tengah semua itu, warga seperti Hendra hanya menginginkan satu hal: rumah yang aman seperti dulu, sebelum kebun kelapanya berubah menjadi telaga yang ia anggap sebagai simbol ketidakadilan.








