PANGKALPINANG — Penolakan terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Kelasa kembali ditegaskan dalam rapat dengar pendapat bersama DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin, 10 November 2025.
Perwakilan masyarakat dan aktivis lingkungan menyebut proyek tersebut tidak sesuai tata ruang dan berpotensi merusak kawasan konservasi.
“Pulau Kelasa itu jelas masuk zona konservasi dan pariwisata. Tiba-tiba ditetapkan jadi tapak proyek PLTN, itu menyalahi pola ruang,” ujar salah satu perwakilan masyarakat Bangka Belitung.
Ia juga menilai hasil kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang menyebut 73 persen warga mendukung PLTN tidak masuk akal. “Di Batu Beriga saja, 100 persen masyarakat menolak. Angka 73 persen itu kebohongan publik. Di negara yang sudah 80 tahun memakai PLTN pun, penerimaan publiknya tidak sampai 60 persen,” tegasnya.
Menurutnya, rencana pembangunan PLTN juga tidak sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maupun Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Babel. Ia menyebut Babel memiliki potensi energi terbarukan yang jauh lebih besar, mulai dari tenaga surya hingga tenaga bayu (angin).
“Energi surya kita punya potensi 2.810 MW dan tenaga angin 1.787 MW. Itu jauh lebih aman dibanding PLTN berbasis uranium,” ujarnya.
Selain alasan tata ruang, ia menekankan Pulau Kelasa memiliki bentang ekologi penting, termasuk terumbu karang purba, jalur migrasi penyu, serta habitat mamalia laut. “Ekosistem laut di sana sudah ribuan tahun terjaga. Kalau dipaksakan PLTN, itu sama saja menghancurkan warisan ekologi Bangka Belitung,” tuturnya.
Aktivis juga mengingatkan bahwa sejumlah pemerintah daerah, termasuk Gubernur, Bupati Bangka Tengah, dan DPRD Babel, telah merekomendasikan pencabutan izin tambang timah laut di pesisir Batu Beriga dan Batu Perahu. “Harus ada perubahan tata ruang agar kawasan laut dijadikan zona tangkap nelayan, bukan zona tambang apalagi nuklir,” tegasnya.








